Jawa Pos

Benarkah Suporter Hanya Customer?

-

’’ANDA bisa berganti pekerjaan. Anda bisa berganti istri. Bahkan, Anda bisa berganti kelamin atau agama. Namun, Anda tidak akan bisa mengganti dua hal dalam hidup ini: tim sepak bola kesayangan dan ibu Anda.’’

Ada yang bilang, ungkapan ini berasal dari Argentina. Banyak yang mengatakan, itu dari Inggris dan Italia. Tak sedikit orang yang menceritak­an bahwa kutipan tersebut lahir dari kombinasi tiga negara itu. Namun, yang jelas, petikan klasik tersebut sudah menjadi kalimat klise dan digunakan secara luas di mana-mana.

Memang, mungkin, tidak banyak orang yang dalam situasi tertentu dipaksa memilih antara ganti kelamin atau pindah dukungan kepada tim sepak bola tertentu. Namun, yang jelas, nukilan tersebut bisa menjadi gambaran sederhana bahwa klub sepak bola mampu memberikan identitas kolektif yang kuat bagi para suporterny­a.

Suporter bukan hanya mengonsums­i pertanding­an dan semua aspek yang berkelinda­n dengan tim pujaannya. Mereka juga adalah entitas yang bisa sangat loyal. Juga, memiliki kesetiaan kuat dalam jangka waktu yang sangat panjang. Kesetiaan itu bukan sekadar menonton tim bertanding di tribun stadion atau merayakan kemenangan. Lebih dari itu, bagi suporter, tim mereka merupakan lembaga yang jauh lebih agung ketimbang urusan sepele antara menang dan kalah.

Berbeda dengan customer warung bakso yang bisa pindah tempat kalau pentolnya sudah tak lezat dan kebanyakan micin, keterikata­n fans sepak bola dengan timnya bisa ratusan kali lebih kuat. Suporter tidak lantas berganti kostum dalam semalam hanya karena klubnya sedang inferior.

Fans Manchester City adalah contoh terbaik soal ini. Sebelum luar biasa makmur dan menangan karena dibeli sosok yang tidak pernah mengurusi harga tiket bernama Syekh Mansour, City sempat lama menjadi tim ayam sayur.

Tak terlalu lama sebelum Syekh Mansour mengambil alih kepemilika­n City pada September 2008, tim tersebut berlaga di League One alias Divisi 3 Liga Inggris pada musim 1998–1999. Meski terkubur di dasar-dasar piramida kompetisi, suporter The Citizens begitu setia. Sejarah mencatat, ketika itu, rata-rata penonton di stadion lama Maine Road mencapai 29.000 orang. Jumlah itu sama persis ketika City berlaga di Premier League tiga tahun sebelumnya! Padahal, kalau dihitung panjang, jumlah penonton di Divisi 3 Liga Inggris waktu itu hanya berkisar 3.000–5.000 orang saja per pertanding­an.

Fans Manchester City sama sekali tidak tergoda untuk ikut-ikutan njoget bersama pendukung klub tetangga yang ketika itu sedang sangar-sangarnya karena meraih tiga gelar dalam semusim.

Klub raksasa Skotlandia Rangers FC menjadi contoh lain yang lebih mengagumka­n. Saat manajemen klub hancur-hancuran dan memaksa mereka berkompeti­si di Divisi 3 pada musim 2012–2013, nyatanya suporter tidak lari. Penonton yang datang ke Ibrox Stadium menembus 47.600 orang per laga. Elgin City yang sempat menempati ranking dua di bawah Rangers menjelang akhir kompetisi mencatatka­n rekor ’’fantastis’’ dengan membukukan rata-rata 780 penonton per pertanding­an.

Loyalitas, fanatisme, sejarah, romantisme, dan identitas adalah inti bisnis tak biasa ini. Dan, itulah yang menjadi pembeda tegas antara mengonsums­i sepak bola dan melahap semangkuk bakso kikil.

Pada banyak sudut lain di dunia ini, relasi antara fans dan klub bukan sekadar membeli tiket, jersey, merchandis­e, atau mendatangi acara meet and greet di mal. Hubungan pendukung dan klub bisa jadi begitu rekat serta ideologis.

Suporter bukan cuma mengonsums­i produk bernama sepak bola. Namun, mereka menemukan identitas dirinya lewat klub. Jika customer hanya membayar sejumlah uang, suporter mendermaka­n hati untuk timnya.

Jika merasa bahwa kata-kata saya itu naif, Anda mungkin belum pernah mendengar tentang klub Divisi 2 Jerman bernama FC St. Pauli. Mendeklara­sikan diri berhaluan kiri, kelompok suporter Ultra Sankt Pauli kerap menyuaraka­n dengan keras isu-isu seksisme, homofobia, kontra fasisme, sampai pembelaan kepada imigran di Millerntor-Stadion.

Presiden St. Pauli Oke Gottlich punya ideologi yang sama dengan suporterny­a. Alih-alih memamerkan kebaperan di muka publik karena gagal membeli pemain bintang atau sambat tipis-tipis karena klub masih merugi, presiden muda berusia 42 tahun itu kerap berbicara tentang hal-hal yang jauh lebih bermakna. Misalnya, tentang perang terhadap rasisme dan kepedulian terhadap kaum miskin kota. ’’St. Pauli akan selalu menjadi klub yang punya perhatian kepada sesama. Selamanya,’’ kata Gottlich kepada jurnalis The Guardian Uli Hesse.

Klub Italia AS Livorno Calcio juga demikian. Bermarkas di kota yang menjadi kelahiran Partai Komunis Italia, Partito Comunista Italiano, Livorno bisa jadi adalah klub sepak bola dengan ideologi paling kiri di dunia. Sampai sekarang, pemujaan suporter terhadap Che Guevara dan Fidel Castro masih sangat marak di Stadio Armando Picchi.

Dan, jika Livorno bertanding melawan SS Lazio, ini bukan lagi sekadar olahraga. Ini sudah masalah ideologis. Berkebalik­an dari Livorno yang sangat kiri, Lazio adalah klub ultrakanan yang didirikan bapak fasisme Italia, Benito Mussolini. Fans garis keras Lazio sudah lama kondang dengan ideologiny­a yang rasis, antisemit, dan tentu saja profasis.

Fans kadang memelesetk­an SS yang aslinya memiliki kepanjanga­n societa sportiva sebagai Schutzstaf­fel, organisasi Nazi yang paling bertanggun­g jawab dalam pembantaia­n 5,5–6 juta orang Yahudi pada Perang Dunia II.

***

Pada suatu hari, Yesus menonton pertanding­an sengit antara tim Protestan melawan Katolik. Pemain Katolik mencetak gol lebih dulu. Yesus bersorak gembira. Lalu, setelahnya, tiba-tiba tim Protestan menyamakan kedudukan. Anehnya, Yesus juga berselebra­si tak kalah heboh.

Hal itu membingung­kan orang-orang di dalam stadion. Seseorang menepuk pundak Yesus dan bertanya: ’’Saudara mendukung pihak yang mana?’’

’’Saya?’’ jawab Yesus lantas tersenyum. ’’Oh, saya tidak bersorak bagi salah satu tim. Saya hanya senang menikmati permainan ini!’’

Mungkin saja ada penggemar tipe customer permainan indah bak Yesus seperti yang dicontohka­n melalui cerita fiktif Romo Anthony de Mello tersebut. Namun, meminjam istilah Robert MacFarlane, seorang fans (dari bahasa latin fanaticus yang artinya pemuja), biasanya menganggap timnya adalah Tuhan. Pada hari pertanding­an, fans di dalam stadion merupakan fundamenta­lis garis keras. Menang atau kalah. Benar atau salah, pokoknya dibela. Entah itu lewat aksi. Atau hanya di dalam hati. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia