Altajaru dan Ruang Bermusik
SEBANYAK 25 musisi dari Jakarta ke Solo untuk tampil dalam acara musik bertajuk Bukan Musik Biasa (BMB) di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah, 16 Maret 2018. Forum musik dan diskusi yang digelar secara reguler tiap dua bulan sekali tersebut awalnya digagas oleh komponis kontemporer kenamaan Indonesia, I Wayan Sadra, dan sudah lebih dari 15 tahun bertahan dan tetap eksis hingga kini. Altajaru, sebuah kelompok musik asal ibu kota itu, mampu menghipnotis penonton lewat karya-karya yang mereka sajikan.
Yang patut dicatat adalah semangat militansi kelompok tersebut. Bayangkan, forum musik BMB sama sekali tidak memberikan bantuan dana apa pun untuk tampil alias murni kerja sukarela. Dengan jumlah musisi selayaknya pengrawit gamelan lengkap (25 orang), mereka datang dari Jakarta membawa instrumen musik seabrek, naik kereta api dengan biaya sendiri. Candanya, mereka hadir atas sponsor ’’Bank Mandiri Sekali’,’ seloroh Anusirwan, pentolan Altajaru, yang disambut tawa riuh penonton.
Langka
Komposisi dimulai dari senandung bacaan Salawat Nabi, kemudian diikuti permainan perkusi gendang, drum, dan jimbe. Lamatlamat suara salawat itu tertutup dengan bangunan melodi dan suara instrumen musik yang semakin mengeras. Komposisi yang terkesan Islami itu justru sejatinya adalah satire dari kehidupan saat ini, di mana ayatayat suci sering kali dilantunkan, namun semata sebagai jalan bagi terbentuknya sebuah chaos
atau kegaduhan yang lain.
Agama dengan demikian menjadi katalisator, alat dalam melegalkan ambisi penuh pamrih. Musik itu menyuarakan tentang polemik fenomena sosial. Siapa sangka, Altajaru yang kebanyakan berisi anak muda dengan gaya rock and roll
justru mampu memotret gejolak kehidupan masyarakat negeri ini dengan cukup apik.
Karya-karya yang mereka bawakan sangat mengentak, jika tak boleh dibilang gaduh dan bising. Permainan-permainan cepat, keras, rigid, dengan singkopasi bunyi yang intensrapat dipertontonkan. Suara-suara itu menjadi aura bunyi tidak biasa bagi masyarakat Solo yang cenderung kudus serta khusyuk menikmati lembut dan sayunya bunyi gamelan.
Altajaru menyuguhkan satu warna yang barangkali terasa asing di telinga, namun tetap enak didengar sebagai sebuah musik progresif. Apabila dibaca lebih jauh, Altajaru menjadi terminal atau titik di mana musisi lintas batas budaya dipertemukan. Dari semua musisi yang terlibat, beberapa di antaranya berasal dari Minang, Aceh, Jakarta, Sunda, Riau, dan beberapa daerah di Indonesia. Mereka diberi kebebasan memainkan instrumen berlatar tradisi asal. Akibatnya, dalam komposisi yang dimainkan, lazim dijumpai tepakan bunyi gendang jaipong, gambang kromong, talempong, petikan gambus, dan sebagainya. Bunyi menjadi kaya dan saling mengisi satu dengan yang lain.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana menyatukan ego dari masing-masing musisi dengan kemampuan musikal berbeda dan latar budaya yang juga berbeda. Di titik inilah Altajaru menemukan kedewasaannya sebagai sebuah kelompok musik yang sudah 16 tahun berdiri. Bermusik bukan semata tentang memproduksi bunyi yang indah dan memukau, namun lebih dari itu adalah sebuah tempat peleburan etnosentris dan egoisme diri dibentuk. Musik menyatukan dan menghapus batasbatas yang membedakan.
Kendatipun demikian, karena persoalan ini pula komposisi-komposisi yang dibawakan menjadi menara gading, berisi berbagai macam timbunan warna bunyi yang tidak ringkas. Setiap musisi memainkan instrumen dari latar budayanya dengan penuh semangat, tapi sekali lagi: bising.
Halim H.D., budayawan Solo, dalam forum diskusi mempertanyakan kenapa Altajaru seolah tak memberi ruang bagi terbentuknya bunyi-bunyi yang kontemplatif alias penuh perenungan. Sebab, hampir setiap karya disajikan dengan tempo, irama, dan bunyi yang serbacepat, instan, tapi ruwet. Intensitas bunyi yang demikian menyerang telinga terus-menerus dengan durasi total karya mencapai satu jam lebih.
Altajaru tampil dalam forum yang selama ini menjadi oase bagi terbentuknya alternatif baru dalam bermusik. BMB awalnya digagas I Wayan Sadra untuk mewadahi letupan-letupan kreatif musisi yang tak mendapatkan tempat di panggung utama musik tanah air. Lewat forum tersebut mereka dapat tampil sebebas mungkin, menjadi dirinya sendiri tanpa takut terusik dengan norma-norma dan pakempakem bermusik. Wajar kemudian jika dalam forum tersebut dijumpai suara-suara aneh, derit bunyi yang mencekam, alias karya musik yang tak biasa.
BMB menjadi wadah yang langka di kala rutinitas kehidupan manusia Indonesia dewasa ini diteror oleh tema musik berbau asmara dan cinta-cintaan ala pop picisan. Jika tidak, sedari pagi sampai larut malam, televisi menyuguhkan acara musik dangdut yang tak pernah usai. Musik menjadi monoton dan seragam. Sementara forum-forum yang memberi tawaran alternatif dalam melahirkan karya musik semakin hilang tak berbekas.
Hebatnya, BMB masih terus bertahan hingga sekarang, kendati sang pencetusnya, I Wayan Sadra, telah meninggal pada 2010. Forum tersebut dibangun dari kebersamaan dan swadaya seniman. Sebagaimana kala Altajaru pentas, untuk kelangsungan forum BMB, penonton dapat memberi sumbangan dana seikhlasnya untuk suguhan kopi, kacang, pisang goreng, dan keripik untuk sajian acara diskusi.
Musik memang tak seharusnya dibicarakan, enaknya didengarkan dan dimainkan. Namun, lewat obrolan-obrolan tentang musik itulah kita dapat menemukan sesuatu yang tidak dimiliki oleh bunyi. Sesuatu itu dapat berupa konsep dan kisah-kisah di balik karya. Selayaknya Altajaru, dalam sesi diskusi, penonton dapat mengetahui dengan detail bagaimana perjuangan dan pengorbanan-pengorbanan yang mereka lakoni dalam bermusik, termasuk untuk dapat tampil di BMB malam itu. (*)