Rela Dibayar Minim asal Tetap Eksis
Singo Ludro Mempertahankan Kesenian Kuda Lumping
Peminat terus menurun, tak banyak peguyuban kesenian kuda lumping di Surabaya yang bertahan. Singo Ludro, salah satu yang masih eksis manggung. Mereka rela dibayar murah, tampil dari kampung ke kampung, dan beratraksi ekstrem setiap manggung.
SUARA pecut mengagetkan penonton. Dua anggota peguyuban Singo Ludro berlari ke area panggung. Matanya melotot seperti kesurupan. Wajah beringas membuat sebagian penonton yang duduk di dekatnya menyingkir.
Sepenggal penampilan Singo Ludro itu terekam dalam handphone Parman, salah seorang anggotanya. Dia juga menunjukkan beberapa gambar lain. Parman menyebutkan, permainan itu baru sedikit contoh. Ada yang lebih ekstrem. ”Ada video makan ayam dan pecahan kaca,” kata Parman saat ditemui Sabtu (24/3) di sekretariat Singo Ludro, sekitar Kali Jagir, Wonokromo.
Singo Ludro dibentuk pada 1978. Pemrakarsanya Supardi, warga Wonokromo. Namun, penggiat seni berusia 70 tahun itu sudah tidak aktif lagi. Singo Ludro diserahkan kepada anak dan menantunya. Saat masih bersama Supardi, nama Singo Ludro sempat melambung. Mereka sering tampil di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Grup tersebut juga sering diundang ke luar daerah. ”Bapak (Supardi, Red) sangat semangat menggiatkan kuda lumping
Muridnya banyak,” ungkap Tanti, anak Supardi.
Saat ini perempuan kelahiran Jember itulah yang didapuk sebagai pengelola peguyuban bersama suaminya, Mujianang. Tanti mengatakan, ayahnya memang sudah tak aktif menekuni seni. Namun, pesan dan ajarannya untuk Singo Ludro masih dipegang kuat. Yakni, tidak hanya mengandalkan tarian ala penari jaranan. Namun, ada atraksi menegangkan yang dihadirkan. Biasanya aksi itu paling ditunggutunggu penonton.
Berbagai atraksi masih diper- tahankan hingga sekarang. Mulai makan ayam hidup, sembur api, makan pecahan kaca, sampai lepas tali pocong. Supaya tidak bosan, aksi yang ditampilkan saat manggung berganti-ganti. Meski begitu, keamanan penonton tetap menjadi pertimbangan utama.
Tanti mengungkapkan bahwa semua pemain telah dibekali ilmu khusus. Selain itu, mereka dilarang keras membawa atau mengonsumsi miras. Tanti tidak menampik masih ada kuda lumping yang membawa miras saat bermain. Menurut dia, minuman itu bisa membuat pemain berbuat ngawur. Mereka bisa melukai penonton. ”Anak-anak tak wanti-wanti berhati-hati saat tampil. Kami tidak memiliki asuransi jika kecelakaan,” tegasnya.
Tanti mengakui, kesenian kuda lumping terus meredup. Di Surabaya, penontonnya makin berkurang. Order manggung sepi. Karena itu, Tanti tak meminta anggota peguyuban berlatih rutin supaya mereka tetap bisa mencari nafkah. Honor manggung tidak banyak. Anggota peguyuban bekerja serabutan untuk tetap bisa makan. Hampir 80 persen pemain Singo Ludro tidak memiliki pekerjaan tetap. ”Namun, kami bersyukur masih ada kepercayaan masyarakat. Meski, undangan manggung tidak setiap bulan,” tuturnya.
Tanti tidak mematok tarif peguyuban setiap manggung. Singo Ludro pernah dibayar Rp 1,5 juta sekali tampil. Tergolong jumlah yang kecil. Jumlah pemain saja 15 orang. Belum lagi, biaya perlengkapan untuk manggung. Mulai menyan, bedak, hingga sewa pakaian.
Tanti menyebutkan, anggota berupaya keras agar grup tidak bubar. Mereka rela tampil meski dengan bayaran minim. Bersama suaminya, perempuan itu bertekad untuk mempertahankan peguyuban. ”Semua anggota juga sepakat melestarikan kesenian. Anak-anak mereka diajari menari sejak kecil,” ungkap Tanti.