Jawa Pos

Hukum Kompetisi Tarif Ojek Online

- AUGUSTINUS SIMANJUNTA­K*

POLEMIK angkutan umum kini bergeser dari protes angkutan offline atas kehadiran ojek online ke protes sopir ojek online yang merasa jadi korban perang tarif antar perusahaan penyedia aplikasi online. Selasa (27/3) para pengemudi ojek online

berunjuk rasa di depan Istana Negara dan perwakilan­nya menemui Presiden Jokowi karena kesal dengan kebijakan perusahaan aplikasi yang menerapkan tarif tak manusiawi.

Para sopir yang berasal dari mitra Go-Jek, GrabBike, dan Uber itu meminta pemerintah untuk menaikkan tarif yang saat ini Rp 2.000 per km menjadi Rp 4.000 per km. Mereka juga menuntut pemerintah merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) yang dijadikan acuan oleh Kementeria­n Perhubunga­n (Kemenhub) sebagai landasan pembuatan Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 terkait tarif dan wilayah operasi serta kuota angkutan online.

Memang, persoalan baru dalam bisnis angkutan online itu muncul karena Kemenhub lupa bahwa masalah persaingan tarif angkutan online seharusnya mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Antimonopo­li). Kemenhub harus membedakan kuota angkutan dengan volume penguasaan pangsa pasar. Kuota ala Kemenhub seharusnya terkait dengan jumlah armada, sedangkan pangsa pasar terkait dengan keseluruha­n permintaan jasa angkutan.

Artinya, pengusaha angkutan (offline maupun online) yang memiliki banyak armada belum tentu menguasai mayoritas pangsa pasar karena terkait kualitas kendaraan dan pilihan konsumen. Pemerintah juga seharusnya tidak menyamakan pengusaha aplikasi angkutan online dengan pengusaha jasa transporta­si (offline) yang bertindak sebagai pemilik armada angkutan.

Pengusaha aplikasi online hanya memfasilit­asi dan mengelola warga (pemilik kendaraan) yang mau berbisnis jasa angkutan. Sedangkan pengusaha jasa transporta­si merupakan pemilik sekaligus pengelola sejumlah kendaraan angkutan atau be r mitra dengan para sopir nya. Karena itu, pengusaha jasa transporta­si offline tidak bisa disandingk­an dengan pengusaha aplikasi angkutan online dalam konteks persaingan. Hanya, pengusaha aplikasi berhasil memecah kegiatan usaha transporta­si ke siapa pun yang ingin berbisnis jasa angkutan.

Menata Pengusaha Aplikasi Tarif yang murah dan transparan sebenarnya merupakan dampak positif kemajuan teknologi sehingga (secara alamiah) para pemilik angkutan online bisa menguasai pangsa pasar (monopoly by nature) karena keinginan konsumen, bukan intrik persaingan. Monopoli alamiah lahir secara wajar karena mekanisme pasar. Pelaku usaha bisa saja unggul dalam persaingan karena kondisi objektif yang dimilikiny­a, termasuk keunggulan teknologi.

Jadi, tarif murah akibat kemajuan teknologi tidak bisa disamakan dengan perilaku predatory pricing yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. Persoalann­ya, kompetisi sengit justru terjadi di antara pengusaha aplikasi (pemegang lisensi teknologi angkutan online) yang bisa berdampak buruk terhadap mitranya, yaitu para sopir ojek online. Dalam hal ini, negara memang wajib hadir sebagai pelindung seluruh warganya.

Jangan sampai perang antar-’’gajah’’ perusahaan aplikasi online mengorbank­an para pelaku usaha kecil tersebut. Karena itu, negara harus menerapkan UU Antimonopo­li terhadap pengusaha aplikasi online. Misalnya, pasal 20 UU Antimonopo­li (terkait predatory price) menyebutka­n: Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga/tarif yang sangat rendah dengan maksud menyingkir­kan usaha pesaingnya di pasar bersangkut­an.

Jadi, perilaku predatory pricing (jual rugi) merupakan intrik kotor oknum pelaku usaha untuk menyingkir­kan pesaingnya. Lalu, ia menaikkan kembali harga produknya setelah berhasil mengusir pesaingnya. Bahkan, tarif/harga yang diterapkan­nya di kemudian hari bisa lebih mahal daripada tarif normal. Karena itu, demi keadilan bagi semua pengusaha angkutan (aplikasi dan konvension­al), pemerintah sudah seharusnya konsisten dengan UU Antimonopo­li yang tidak mengatur soal batasan tarif bawah-atas.

Namun, UU Antimonopo­li mengatur bentuk-bentuk penguasaan pangsa pasar yang dilarang karena merugikan konsumen, mitra, maupun kompetitor. Misalnya, pasal 4 sampai 16 UU Antimonopo­li mengatur tentang perjanjian terlarang bagi pelaku usaha yang bisa melahirkan tarif/harga tinggi. Antara lain, larangan pembagian wilayah pemasaran, larangan perjanjian dua atau lebih perusahaan untuk menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar barang/ jasa sejenis (oligopoli), dan larangan penetapan harga maupun kartel.

Kemudian, pasal 17 sampai 29 melarang penguasaan pangsa pasar maupun pasokan barang/jasa sejenis lebih dari 50 persen oleh satu pengusaha. Juga, larangan posisi dominan terkait akses pasokan dan penjualan barang/jasa. Persoalann­ya, apakah penguasaan pangsa pasar angkutan oleh segelintir pengusaha aplikasi tergolong monopoli produk jasa yang dilarang? Ini menjadi tugas KPPU untuk menelitiny­a.

Yang penting, semua pengusaha angkutan offline sudah saatnya mengikuti perkembang­an zaman menuju efisiensi tinggi lewat sistem online.

Ketika pengusaha penyedia aplikasi

online tidak lagi dipertenta­ngkan dengan pengusaha angkutan offline,

saatnya menata pengusaha aplikasi

online sesuai spirit ekonomi jalan tengah yang dianut pasal 33 UUD 1945. Pemerintah boleh saja membuat regulasi persaingan, tapi wajib mengacu pada UU Antimonopo­li yang merupakan acuan dalam menciptaka­n kesimbanga­n bisnis di masyarakat.

Paling tidak, Kemenhub mengajak KPPU untuk membahas masalah itu. Penegakan hukum atas kompetisi angkutan pun sebaiknya diserahkan kepada KPPU, bukan ke Kemenhub. Sebab, Kemenhub tidak berwenang mengurusi struktur penguasaan pangsa pasar dalam bisnis jasa transporta­si. *) Dosen Hukum Bisnis FE Univ Kristen Petra Surabaya

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia