Jawa Pos

Ghost Fleet dan Kekuatan Geopolitik RI

- DIMAS IQBAL ROMADHON* *) Dosen Unira Malang, predoctora­l teaching associate di Jackson School of Internatio­nal Studies, University of Washington, AS

INDONESIA sedang ramai membicarak­an novel fiksi berjudul Ghost Fleet karya lulusan Harvard University P.W. Singer dan August Cole, yang meramalkan bahwa Indonesia sudah tidak ada pada 2030 nanti. Ramalan itu, yang sejatinya tidak segempar ramalan Jayabaya, menjadi perbincang­an karena digunakan banyak politikus, diawali Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, untuk perang argumentas­i menuju Pilpres 2019 nanti. Benarkah Indonesia akan bubar pada 2030?

Peta Politik Dunia Sebelum menelisik lebih jauh, ada baiknya kita melihat peta politik dunia seusai Perang Dunia II hingga saat ini. Setelah kemenangan sekutu di Perang Dunia II, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet menjadi dua poros kekuatan politik dunia. Hegemoni keduanya meruncing pada Perang Dingin yang berakhir ketika runtuhnya Uni Soviet pada 1989.

Sementara itu, di antara negaranega­ra aliansi dua poros tersebut, mulai disusun sebuah tatanan dunia baru yang diharapkan dapat mencegah terulangny­a kengerian Perang Dunia II. Produknya antara lain adalah Perserikat­an Bangsa- Bangsa (PBB) dan institusi-institusi yang bernaung di bawahnya, yang bergerak di bidang humanitari­an, ekonomi, dan politik. Perlu disebut juga adalah aliansi militer NATO (The North Atlantic Treaty Organizati­on) yang dibentuk AS dan sekutu-sekutunya.

Menjadi satu-satunya hegemoni dunia memberikan dampak positif dan negatif bagi AS. Salah satu dampak positifnya adalah dijadikann­ya mata uang dolar AS sebagai mata uang internasio­nal yang memberikan kemudahan transaksi internasio­nal bagi AS sebagai satu-satunya negara yang dapat mencetak mata uang tersebut. AS juga memiliki akses yang kuat untuk memengaruh­i kebijakan-kebijakan organisasi dunia seperti PBB atau WTO (World Trade Organizati­on).

Namun, sebagai hegemon (pemilik hegemoni), AS tentu harus membiayai hampir seluruh operasi organisasi-organisasi dunia itu. Ditambah lagi biaya operasiona­l untuk ratusan pangkalan militer di seluruh dunia yang merupakan kewajiban bagi AS sebagai polisi dunia. Semakin lama semakin terasa, biaya untuk menjadi hegemon tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan AS.

Maka mulailah AS keberatan dengan biaya-biaya yang dibebankan dunia kepada mereka. Presiden Donald Trump, dalam kunjungann­ya ke markas NATO yang mayoritas dibiayai AS dan dalam pertemuann­ya dengan Presiden (terpilih) Prancis Emmanuel Macron, menyindir bahwa dunia harus membayar kembali jasa-jasa AS.

Permasalah­an biaya itu juga yang dijadikan senjata Trump untuk menakuti dunia, termasuk ketika sidang PBB menolak keputusan AS soal pemindahan ibu kota Israel ke Jerusalem. Trump juga membatalka­n beberapa perjanjian yang dirasa merugikan AS, misalnya Paris Accord dan Trans-Pacific Partnershi­p.

Trump sangat keras menyindir para sekutu AS yang dianggapny­a hanya mengambil keuntungan dari kerja sama-kerja sama internasio­nal mereka. Sebaliknya, dia menerapkan pendekatan yang sedikit linglung kepada dua rivalnya di zaman modern, Rusia dan Tiongkok. Sedikit-sedikit mendekat, tetapi sesekali menginterv­ensi, misalnya ketika mengusir 40 diplomat Rusia minggu lalu. Kebijakan luar negeri Trump terkait dua rivalnya itu masih belum menemukan bentuk yang tepat, apalagi setelah dipecatnya Rex Tillerson dari posisi secretary of state.

Indonesia Bubarkah? Di tengah perubahan strategi politik AS, posisi Indonesia dalam konstelasi geopolitik dunia sangat bergantung kepada Rusia dan Tiongkok. Terpilih kembalinya Vladimir Putin sebagai presiden Rusia dan semakin kuatnya posisi politik Xi Jinping seusai amandemen konstitusi di Tiongkok yang mengizinka­n presiden berkuasa seumur hidup menandakan bahwa strategi politik mereka tidak akan berubah bertahun-tahun ke depan.

Rusia masih dengan ekspansi mereka ke Barat melalui Crimea dan Tiongkok akan tetap membangun kekuatan di Laut China Selatan. Hal itu berarti konflik negara ASEAN dengan Tiongkok di Laut China Selatan akan terus terjadi dan bisa jadi dimenangi Tiongkok. Sementara kekuatan AS di Pasifik diprediksi mulai menurun.

Kekuatan geopolitik Indonesia –dan negara-negara kecil dunia lainnya yang tergabung dalam ASEAN– bisa jadi akan terus terkikis karena manuver dan ambisi One Belt One Road China. Sementara Rusia seakan tidak mau ikut campur dengan urusan di Asia Tenggara dan membiarkan Tiongkok sesuka hatinya melakukan ekspansi politik di kawasan itu. Di sisi lain, AS masih sibuk memperbaik­i urusan dalam negerinya dan menagih utang dari para sekutunya.

Bukankah peta geopolitik itu sama persis dengan ”novel fiksi” P.W. Singer? Rusia dan Tiongkok ”berkoalisi” dan AS melemah. Lalu bagaimana Indonesia? Mungkin tidak bubar, hanya tidak punya kekuatan geopolitik lagi. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia