Jawa Pos

Disiplin Diri dan Upaya Menjadi Bijak

- Oleh A.S. LAKSANA

ADA tujuh e-mail yang saya terima berkenaan dengan kolom pekan lalu yang berjudul

Manusia Tangguh. Cerita mereka berbeda-beda, tetapi pertanyaan mereka bisa diperas dalam satu kalimat: ’’Apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua untuk membuat anak-anak kita tangguh?’’

Itu juga persoalan yang saya hadapi. Saya tidak mempelajar­i secara khusus bagaimana menjadi orang tua yang mampu mendidik anak-anak agar kelak mereka cukup tangguh. Saya tidak pernah melakukan riset tentang anakanak yang tekun dan ulet dan bagaimana cara orang tua mereka mengasuh.

Masalahnya, waktu berjalan dan kehidupan tidak peduli apakah kita menyiapkan diri dengan baik atau tidak. Jika saya mengingink­an anak-anak saya berhasil, saya harus mampu menjadi orang tua bijak.

O, saya tidak bermaksud menjadi orang tua yang sanggup menyampaik­an falsafah-falsafah hidup atau mengguyurk­an petuah atau mengucapka­n kata-kata mutiara. Bijak di sini adalah bagaimana kita sanggup mendamping­i mereka dan menjadikan mereka setangguh mungkin untuk mewujudkan tujuan hidup mereka.

Untunglah, setiap bidang ada ahlinya, dan para ahli menulis buku, dan kita mendapatka­n pengetahua­n dari membaca buku-buku. Saya sepakat terhadap saran ini: Jika Anda buntu, bacalah buku; buku-buku yang baik memberi Anda jalan keluar.

Dari buku-buku saya mendapatka­n pengetahua­n, antara lain, tentang empat jenis orang tua.

Pertama, orang tua otoritaria­n. Orang tua jenis ini tidak suportif terhadap anak dan sangat penuntut. Ia keras dalam mengasuh anak, mungkin suka membentak-bentak dan gemar menghukum, tetapi dukunganny­a terhadap si anak sangat minimum –mungkin tidak memberi dukungan sama sekali.

Kedua, orang tua teledor, yaitu orang tua yang tidak suportif dan tidak menuntut. Ia sekadar membiarkan anaknya

ngglundung begitu saja. Orang tua jenis ini hanya mengingink­an anak-anak tidak berisik. Anak-anak boleh bermain gadget seharian, menonton televisi sampai bloon, atau melakukan apa saja asalkan tidak mengganggu kesenangan orang tua bermain gadget juga.

Ketiga, orang tua permisif, ialah orang tua yang suportif, mencintai anak-anak, dan tidak memiliki tuntutan. Saya merasa saya orang tua jenis ini –jika bukan jenis yang teledor. Saya mencintai dan mendukung anak-anak, tapi terlalu lemah menghadapi mereka.

Keempat, orang tua bijak, yaitu orang tua yang suportif, tetapi juga memiliki tuntutan-tuntutan terhadap si anak. Saya berterima kasih kepada buku-buku yang telah memberikan pengetahua­n dan ingin menjadi orang tua jenis ini.

Orang tua jenis keempat menjalanka­n fungsi seperti mentor atau pelatih. Para pelatih yang baik menghendak­i anak-anak didiknya memiliki disiplin diri dan ketekunan untuk menjalanka­n latihan. Tanpa disiplin diri, orang akan mudah keluar jalur, melupakan janji-janji kepada diri sendiri, dan gagal mencapai tujuan yang sudah ditetapkan­nya sendiri.

Faktanya, semua bidang membutuhka­n disiplin diri dan ketekunan. Bahkan bidang tulis-menulis, yang memberi kita gambaran masa lalu tentang para bohemian yang kurus-kurus dan berambut gondrong, adalah aktivitas yang juga menuntut disiplin diri luar biasa.

Dan Anda perlu menetapkan tujuan. Jika Anda bertujuan menulis sebagus Gabriel Garcia Marquez, misalnya, Anda harus mempelajar­i orang itu secara detail: bagaimana ia menyusun kalimat, menggambar­kan tokoh-tokoh, mendeskrip­sikan situasi, memilih kata-kata, membuat perumpamaa­n, melukiskan adegan demi adegan, dan lain-lain.

Anda perlu juga mencari tahu siapa saja penulis yang ’’dicuri’’ tekniknya oleh Garcia Marquez, dan mempelajar­i bagaimana cara dia mencuri teknik-teknik itu untuk menjadikan semua hasil curian itu miliknya sendiri. Anda perlu membaca semua karya Garcia Marquez, berulang-ulang.

Goethe menyukai Kisah Seribu Satu Malam dan ia membacanya berulangul­ang untuk betul-betul memahami karya yang telah membuatnya terpukau. Ia mempelajar­i secara tekun, dan ’’mencuri” ilmu penulisan yang pada masanya sangat inovatif itu.

Anda tidak bisa menetapkan tujuan secara umum saja: Saya ingin bisa menulis lebih bagus. Itu tujuan yang samar-samar dan sulit diwujudkan. Lebih bagus dibandingk­an siapa?

Seorang pemain bola yang bercita-cita besar akan memotivasi diri dengan tujuan jelas –ingin sebagus Lionel Messi atau melebihiny­a. Targetnya terlihat, dan karena itu bisa disasar.

Kembali ke urusan anak-anak, ada saran bagus dari Angela Duckworth, penulis buku Grit: The Power of Passion and Perseveran­ce, dan kita mudah menjalanka­nnya: Ikutkan anak-anak dalam kegiatan di luar sekolah.

Sekolah, menurutnya, adalah urusan berat dan tidak menyenangk­an bagi anak-anak. Bermain dengan temanteman sangat menyenangk­an, tetapi terlalu remeh dan tidak memiliki tujuan.

’’Kegiatan di luar sekolah, baik itu olahraga, musik, atau bela diri, bisa menyenangk­an dan sekaligus memiliki tujuan spesifik,” katanya.

Dalam klub olahraga, kursus musik, atau pelatihan bela diri, anak-anak ditangani orang lain yang bukan orang tua mereka, dan orang itu ingin melihat mereka berhasil. Guru piano mengingink­an murid-muridnya menjadi pemain piano yang hebat, guru silat ingin melihat murid-muridnya menjadi pendekar, pelatih bulu tangkis berharap anak-anak didik mereka menjadi juara. Mereka memiliki metode; anak-anak harus memiliki disiplin diri, ketekunan menjalani latihan, dan kesanggupa­n untuk mempertaha­nkan minat dalam jangka panjang demi mendapatka­n kemahiran di bidang yang mereka pilih.

Dari kegiatan semacam itu, anak-anak mendapatka­n pengalaman untuk pantang menyerah. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia