Disiplin Diri dan Upaya Menjadi Bijak
ADA tujuh e-mail yang saya terima berkenaan dengan kolom pekan lalu yang berjudul
Manusia Tangguh. Cerita mereka berbeda-beda, tetapi pertanyaan mereka bisa diperas dalam satu kalimat: ’’Apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua untuk membuat anak-anak kita tangguh?’’
Itu juga persoalan yang saya hadapi. Saya tidak mempelajari secara khusus bagaimana menjadi orang tua yang mampu mendidik anak-anak agar kelak mereka cukup tangguh. Saya tidak pernah melakukan riset tentang anakanak yang tekun dan ulet dan bagaimana cara orang tua mereka mengasuh.
Masalahnya, waktu berjalan dan kehidupan tidak peduli apakah kita menyiapkan diri dengan baik atau tidak. Jika saya menginginkan anak-anak saya berhasil, saya harus mampu menjadi orang tua bijak.
O, saya tidak bermaksud menjadi orang tua yang sanggup menyampaikan falsafah-falsafah hidup atau mengguyurkan petuah atau mengucapkan kata-kata mutiara. Bijak di sini adalah bagaimana kita sanggup mendampingi mereka dan menjadikan mereka setangguh mungkin untuk mewujudkan tujuan hidup mereka.
Untunglah, setiap bidang ada ahlinya, dan para ahli menulis buku, dan kita mendapatkan pengetahuan dari membaca buku-buku. Saya sepakat terhadap saran ini: Jika Anda buntu, bacalah buku; buku-buku yang baik memberi Anda jalan keluar.
Dari buku-buku saya mendapatkan pengetahuan, antara lain, tentang empat jenis orang tua.
Pertama, orang tua otoritarian. Orang tua jenis ini tidak suportif terhadap anak dan sangat penuntut. Ia keras dalam mengasuh anak, mungkin suka membentak-bentak dan gemar menghukum, tetapi dukungannya terhadap si anak sangat minimum –mungkin tidak memberi dukungan sama sekali.
Kedua, orang tua teledor, yaitu orang tua yang tidak suportif dan tidak menuntut. Ia sekadar membiarkan anaknya
ngglundung begitu saja. Orang tua jenis ini hanya menginginkan anak-anak tidak berisik. Anak-anak boleh bermain gadget seharian, menonton televisi sampai bloon, atau melakukan apa saja asalkan tidak mengganggu kesenangan orang tua bermain gadget juga.
Ketiga, orang tua permisif, ialah orang tua yang suportif, mencintai anak-anak, dan tidak memiliki tuntutan. Saya merasa saya orang tua jenis ini –jika bukan jenis yang teledor. Saya mencintai dan mendukung anak-anak, tapi terlalu lemah menghadapi mereka.
Keempat, orang tua bijak, yaitu orang tua yang suportif, tetapi juga memiliki tuntutan-tuntutan terhadap si anak. Saya berterima kasih kepada buku-buku yang telah memberikan pengetahuan dan ingin menjadi orang tua jenis ini.
Orang tua jenis keempat menjalankan fungsi seperti mentor atau pelatih. Para pelatih yang baik menghendaki anak-anak didiknya memiliki disiplin diri dan ketekunan untuk menjalankan latihan. Tanpa disiplin diri, orang akan mudah keluar jalur, melupakan janji-janji kepada diri sendiri, dan gagal mencapai tujuan yang sudah ditetapkannya sendiri.
Faktanya, semua bidang membutuhkan disiplin diri dan ketekunan. Bahkan bidang tulis-menulis, yang memberi kita gambaran masa lalu tentang para bohemian yang kurus-kurus dan berambut gondrong, adalah aktivitas yang juga menuntut disiplin diri luar biasa.
Dan Anda perlu menetapkan tujuan. Jika Anda bertujuan menulis sebagus Gabriel Garcia Marquez, misalnya, Anda harus mempelajari orang itu secara detail: bagaimana ia menyusun kalimat, menggambarkan tokoh-tokoh, mendeskripsikan situasi, memilih kata-kata, membuat perumpamaan, melukiskan adegan demi adegan, dan lain-lain.
Anda perlu juga mencari tahu siapa saja penulis yang ’’dicuri’’ tekniknya oleh Garcia Marquez, dan mempelajari bagaimana cara dia mencuri teknik-teknik itu untuk menjadikan semua hasil curian itu miliknya sendiri. Anda perlu membaca semua karya Garcia Marquez, berulang-ulang.
Goethe menyukai Kisah Seribu Satu Malam dan ia membacanya berulangulang untuk betul-betul memahami karya yang telah membuatnya terpukau. Ia mempelajari secara tekun, dan ’’mencuri” ilmu penulisan yang pada masanya sangat inovatif itu.
Anda tidak bisa menetapkan tujuan secara umum saja: Saya ingin bisa menulis lebih bagus. Itu tujuan yang samar-samar dan sulit diwujudkan. Lebih bagus dibandingkan siapa?
Seorang pemain bola yang bercita-cita besar akan memotivasi diri dengan tujuan jelas –ingin sebagus Lionel Messi atau melebihinya. Targetnya terlihat, dan karena itu bisa disasar.
Kembali ke urusan anak-anak, ada saran bagus dari Angela Duckworth, penulis buku Grit: The Power of Passion and Perseverance, dan kita mudah menjalankannya: Ikutkan anak-anak dalam kegiatan di luar sekolah.
Sekolah, menurutnya, adalah urusan berat dan tidak menyenangkan bagi anak-anak. Bermain dengan temanteman sangat menyenangkan, tetapi terlalu remeh dan tidak memiliki tujuan.
’’Kegiatan di luar sekolah, baik itu olahraga, musik, atau bela diri, bisa menyenangkan dan sekaligus memiliki tujuan spesifik,” katanya.
Dalam klub olahraga, kursus musik, atau pelatihan bela diri, anak-anak ditangani orang lain yang bukan orang tua mereka, dan orang itu ingin melihat mereka berhasil. Guru piano menginginkan murid-muridnya menjadi pemain piano yang hebat, guru silat ingin melihat murid-muridnya menjadi pendekar, pelatih bulu tangkis berharap anak-anak didik mereka menjadi juara. Mereka memiliki metode; anak-anak harus memiliki disiplin diri, ketekunan menjalani latihan, dan kesanggupan untuk mempertahankan minat dalam jangka panjang demi mendapatkan kemahiran di bidang yang mereka pilih.
Dari kegiatan semacam itu, anak-anak mendapatkan pengalaman untuk pantang menyerah. (*)