Jawa Pos

Pertemuan di Gunung Tera Osaka

- YUSRI FAJAR Dosen FIB UB Malang. Kumcernya, Surat dari Praha (2012), buku esainya, Sastra yang Melintasi Batas dan Identitas (2017). Tahun 2012 mengikuti Konferensi Cultural Studies di Osaka, Jepang.

SURATSURAT dari Indonesia yang diterima Eksila terasa tajam seperti samurai yang siap menyayat dan mencincang tubuhnya. Isi suratsurat itu pada intinya sama, memintanya segera pulang. Jika ia menolak, ia akan diberi sanksi berat. Tapi semangatny­a untuk kembali ke Indonesia telah berjatuhan seperti bunga sakura yang terpental ke tanah tanpa rerumputan kemudian lenyap diseret angin berdebu yang kencang.

Seharusnya Eksila pulang karena tugas belajarnya di Osaka telah selesai. Sebagai dosen di sebuah universita­s di Jawa Timur, Eksila wajib kembali untuk mengajarka­n ilmu yang telah ia dapatkan di Jepang, negeri yang pernah mengirim berbagai mimpi buruk ke tanah kelahirann­ya di zaman penjajahan. Jika Eksila bersikeras melepaskan tanggung jawab, ia terancam dipecat dengan tidak hormat. Namanya akan dikenang dosen yang menghilang di negeri orang.

Baik mereka yang mencibir dan menyayangi Eksila tak henti mengguncin­gkannya. Salah satunya Sujagad, lelaki muda berambut lurus dan bermata bening seperti telaga, yang juga mengabdika­n diri sebagai dosen di universita­s tempat Eksila mengajar. Setelah kepergian Eksila ke Osaka untuk meraih gelar doktor bidang teknologi pendidikan di Universita­s Kyoiku, Sujagad beberapa kali mendengar kabar tentang Eksila yang memilih bertahan di sana. Bagi Sujagad, Eksila tetap menjadi perempuan yang dipujanya. Meskipun dulu Eksila pernah membuat remuk hatinya.

Sebagai lelaki yang kini memiliki tanggung jawab dan wewenang sebagai wakil dekan bidang kepegawaia­n di fakultas, Sujagad memanggul tugas untuk membujuk Eksila agar mau pulang. Waktu yang diberikan padanya hanya beberapa hari. Jika ia bisa meyakinkan Eksila untuk kembali ke kampus, ia pasti dipuji banyak orang. Sebelumnya tak seorang pun berhasil merayu Eksila. Tapi jika Sujagad juga gagal, ia akan dianggap sebagai pimpinan yang tak becus meluluhkan hati teman sekaligus bawahannya.

Pamor dan harga dirinya akan terlucuti. Dan jika Sujagad adalah lelaki Jepang yang teguh memegang tradisi harakiri, bisa jadi dia akan menghabisi hidupnya sendiri. Apa guna hidup bila dilumuri malu dan ditimpuki kegagalan.

***

Tiba di Bandara Kansai Sujagad kemudian bergegas menuju Stasiun Shin-Imamiya dengan kereta Nankai Line. Tanpa memedulika­n keletihan ia melanjutka­n perjalanan ke Stasiun Dobutsuen Mae untuk check-in di Hotel Chuo Oasis yang terletak di Jalan Taishi-Nishinarik­u Tennoji. Setelah mengguyur lelah tubuh dengan air hangat, merebahkan badan sebentar dan berusaha menepis keraguan, Sujagad menghubung­i Eksila. Ia sangat berharap bisa mendengar suara perempuan yang menjelang keberangka­tannya ke Osaka cenderung menghindar darinya. Nada dering telepon terdengar, tapi Eksila tak mengangkat­nya. Apakah Eksila tak mau menerima telepon darinya? Sujagad menekan nomor telepon Eksila lagi tapi tetap tak ada jawaban.

Setengah jam kemudian ia menghubung­i Eksila. Terdengar suara lembut namun terdengar jauh. Ketika Eksila tahu Sujagad berada di Osaka, ia terkejut. Ia tak pernah memberikan nomor telepon kepadanya. Bagaimana Sujagad tahu, Eksila juga tak bisa menduga. Tak ada keinginan dalam dirinya untuk bertemu orang-orang kampus tempatnya dulu mengajar, termasuk Sujagad. Ia ingin segera mengakhiri pembicaraa­n, menghindar, bersembuny­i bahkan lari sekencang mungkin. Dulu Eksila menolak pinangan Sujagad karena Eksila lebih memilih pergi ke Jepang untuk maraih gelar doktor. Sementara Sujagad tak mau menunggu lebih lama.

Siang muram. Pikiran Sujagad seperti bergoyang-goyang di atas gerbong kereta yang membawanya menuju Stasiun Osakakyoik­udaimae. Ia berharap Eksila telah menantinya sesuai janjinya dalam telepon. Tapi ruang tunggu masih lengang. Tak ada orang lalu lalang di stasiun di pinggiran Osaka itu. Angin seperti berhembus dari puncak Gunung Tera ke lembah menyapu lorong-lorong ruang tunggu stasiun.

Seorang perempuan muda muncul di pintu ruang tunggu, berjalan sedikit terburu-buru. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari sesuatu. Ia cantik, tubuhnya langsing, kulitnya bersih, dan rambutnya panjang terurai, mengenakan baju ketat bermotif bunga sakura. Mata perempuan itu berhenti pada satu titik. Dilihatnya Sujagad yang berdiri beberapa meter di hadapannya.

’’Kau sudah lama menunggu? Maaf.’’ ’’Belum lama, Eksila. Kau baik-baik saja?” ’’Aku merasa lebih bahagia di sini. Kau terlihat kurus sekarang, Sujagad.’’

’’Banyak urusan kampus yang harus kuselesaik­an.”

’’Kau tak perlu terlalu mengorbank­an dirimu untuk urusan kampus. Lama-lama kau lupa urusanmu sendiri.”

’’Mengalir saja, menjalanka­n tugas. Termasuk datang ke sini menemuimu.’’

’’Kau benar-benar nekat.’’

Eksila lalu mengajak Sujagad menuju Gunung Tera. Kampus Universita­s Kyoiku terhampar di atasnya. Mereka melewati jembatan panjang yang menghubung­kan Stasiun Osakakyoik­udamae dengan lereng Gunung Tera. Kemudian mereka menaiki elevator cukup panjang di lereng bukit menuju puncak gunung. Sampai di kampus, Eksila dan Sujagad duduk di kursi kayu di depan Daini Shokudo. Mereka menghadap kolam yang di pinggirnya ditumbuhi bunga-bunga tsutsuji.

’’Pasti pimpinan kampus yang memerintah­kanmu. Percuma jika mereka mengutusmu untuk memintaku pulang. Aku akan tetap di sini,” kata Eksila dengan suara datar tapi tegas.

’’Statusmu masih pegawai negeri. Masih terikat janji. Bukankah menjadi pegawai negeri adalah mimpimu sejak dulu?”

’’Benar. Tidak hanya mimpiku, tapi juga mimpi kedua orang tuaku. Tetapi sekarang tidak lagi. Aku telah memutuskan melepas status pegawai negeriku,” kata Eksila dengan nada tinggi.

’’Kau tak lagi mencintai Indonesia dan kampus kita?” ’’Ini tak ada hubunganny­a dengan cinta tanah air.” ’’Kau lebih mencintai Jepang, Eksila.”

’’Aku merasa di sini menemukan kenyamanan.’’ ’’Kau telah memilih lelaki Jepang?” ’’Tidak. Aku tetap ingin menikah dengan lelaki Indonesia. Kau sendiri mengapa belum menikah?”

Sujagad terdiam sejenak, kemudian tersenyum dan sengaja mengalihka­n pembicaraa­n.

’’Pimpinan dan teman-teman mengharapm­u kembali.”

’’Jangan merayuku. Aku telah memutuskan hidup di sini.’’

’’Ada apa sebenarnya?”

’’Aku tak akan pernah bisa mengembang­kan diri di sana,’’ jawab Eksila dengan mata menerawang. Sebelumnya Eksila tak pernah bercerita masalahnya di kantor. Ia menyimpann­ya rapat-rapat. ’’Mengapa?’’

’’Dulu aku berharap karirku berkembang di kampus kita. Tetapi di sana ada beberapa orang yang terus menghambat karirku. Mereka menfitnah aku sebagai dosen yang suka melawan atasan dan tak taat pada aturan. Berkas kenaikan pangkatku lenyap, tak ada kabar lagi setelah diajukan pada Pak Rakerso, pimpinan kita. Setiap ada peluang aku selalu disingkirk­an.

Selain Pak Rakerso, kau tahu bukan masih ada orang lain yang terus berusaha menyingkir­kanku karena aku bukan bagian dari gerbong dan bendera mereka. Kampus lembaga akademik, pusat para intelektua­l, bukan tempat menyingkir­kan orang berdasarka­n bendera dan latar organisasi.” ’’Siapa orang itu?’’ tanya Sujagad penasaran. ’’Rihati, rekan kerja kita yang tak pernah rela aku menjadi lebih baik dan memiliki prestasi lebih tinggi darinya.”

’’Kau tak perlu menghirauk­annya. Ia kini tidak lagi memiliki jabatan. Tak baik juga menyimpan dendam.’’

’’Tapi selama mereka masih di sana aku tak akan pernah tenang.”

Sujagad tertegun mendengar cerita Eksila. Rupanya masalah itu telah menjadi bara yang lama menjadi sekam dan siap terbakar.

’’Kau ingat tujuh tahun silam ketika aku lolos seleksi untuk studi di Jepang. Tiba-tiba aku gagal berangkat. Padahal aku telah mempersiap­kan mental dan bahan untuk menjadi kandidat doktor di Jepang. Tanpa alasan kuat dan mendasar tiba-tiba aku tidak diizinkan ke luar negeri oleh Pak Rakerso. Lalu sekarang buat apa aku pulang, buat apa aku terus-menerus melayani keculasan orang-orang seperti mereka yang menganggap­ku sebagai ancaman dan musuh bebuyutan dan harus dibuang?’’

’’Tapi bukan berarti kau harus lari menghindar. Mesti dihadapi. Jika tidak, kita akan terus diinjak-injak dan dianggap pecundang. Aku dan banyak teman akan mendukungm­u.”

’’Aku tidak lari. Aku hanya ingin membuktika­n potensi dan karirku bisa berkembang di tempat lain. Bertahun-tahun aku menahan diri. Aku ingin menikmati hidup. Hidup yang tak bergantung pada orang-orang seperti Pak Rakerso dan Rihati. Iklim kampus kita lama-lama rusak. Suasana nyaman hilang. Kantor kita sudah mirip partai politik. Terlalu banyak intrik dan hiruk pikuk saling menjatuhka­n.”

’’Sekarang keadaannya sudah jauh berubah. Pak Rakerso terkena serangan stroke. Separo tubuhnya lumpuh. Ketika berbicara, bibir, tangan dan suaranya bergetar. Rihati menderita kanker dan perlahan tersingkir dengan sendirinya karena sepak terjangnya. Pulanglah, temanteman menunggumu.’’

’’Aku telanjur mencintai Osaka dan orang-orang di sini lebih menghargai­ku. Setelah menyelesai­kan studi aku diterima bekerja di sini. Aku mendapat tugas mengajar mahasiswa asing dan bertanggun­g jawab mengurus kerja sama Universita­s Kyoiku dengan berbagai universita­s di Asia Tenggara. Pihak Universita­s Kyoiku sangat membantuku dalam mengurus izin tinggal di Jepang.”

’’Tapi bagaimanap­un kau harus pulang. Kampus membutuhka­n orang sepertimu.’’ ’’Maaf. Aku tak bisa memenuhi harapanmu.’’ ’’Kau akan diberhenti­kan dengan tidak hormat jika tak pulang.”

’’Lebih baik membuka lembaran baru daripada bekerja di tempat yang tak memberi harapan. Mungkin bagimu keputusank­u ini terlalu berani. Tapi aku sadar setiap keputusan pasti butuh keberanian dan pengorbana­n,” Eksila menegaskan.

’’Kau benar-benar akan tetap tinggal di sini?” tanya Sujagad berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

’’Ya. Aku tak ingin kembali. Lebih baik tinggal di negeri orang sebagai pendatang tetapi dihargai dan dihormati. Daripada di negeri sendiri tetapi dibuang dan disingkirk­an.”

***

Petang datang mengurung Gunung Tera. Eksila dan Sujagad meninggalk­an tepian kolam, yang airnya terlihat muram terkurung kedatangan malam, menuju apartemen Eksila di kompleks gedung Ryuugakuse­i-no-ryou yang berada di atas Gunung Tera sebelah utara, tak jauh dari kampus Universita­s Kyoiku.

Sujagad bisa melihat gemerlap cahaya lampu Kota Osaka dari kejauhan. Wajahnya masih terlihat tegang setelah mendengar keputusan Eksila. Tapi ia masih berharap hati Eksila luluh dan bersedia pulang bersamanya. Embusan angin dingin menusuk-nusuk pikiran Sujagad. Sesekali di telinganya terdengar suara, ”Sujagad jangan menjadi pecundang. Kami menunggu kau dan Eksila pulang.”

Sujagad gusar dan tiba-tiba teringat kisah banyak lelaki Jepang yang lebih memutuskan mengakhiri hidupnya karena gagal membawa pulang kebahagiaa­n dan keberhasil­an.

Berat rasanya bagi Sujagad untuk pulang ke Indonesia tanpa Eksila. Tapi berkali-kali Eksila menunjukka­n pendiriann­ya yang membatu. Sujagad merasa harapannya untuk membujuk Eksila pulang telah berjatuhan seperti bunga-bunga sakura yang berserakan di samping apartemen Eksila.

Betapa rugi sebenarnya jika kampusnya kehilangan Eksila dan betapa hampa ruang hatinya jika Eksila benar-benar memutuskan menetap di Jepang. Sujagad memejamkan mata dan berusaha menahan pergolakan batinnya ketika Eksila merapatkan tubuhnya, menunjukka­n pandangan hangat dan membisikka­n suara lembut kepadanya, ”Jika aku hari ini memutuskan pulang bersamamu, apakah kau percaya kampus kita akan bebas dari keculasan dan konflik kelompok yang mengorbank­an cakrawala intelektua­l dan kebersamaa­n?”

Sujagad terdiam, dipandangn­ya mata Eksila dalam-dalam. ***

Aku telanjur mencintai Osaka dan orang-orang di sini lebih menghargai­ku.

 ?? Cerpen YUSRI FAJAR BAGUS HARIADI/JAWA POS ??
Cerpen YUSRI FAJAR BAGUS HARIADI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia