Isu Kemiskinan di Pilgub Jawa Timur
PILGUB Jawa Timur (Jatim) 2018 yang berlangsung pada Juni mendatang memiliki arti penting bagi masa depan provinsi tersebut. Sebab, gubernur terpilih akan menghadapi tantangan pemerataan ekonomi dan kemajuan ekonomi regional.
Dalam pemerataan ekonomi, tantangan terbesar adalah pengentasan kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2016 menunjukkan bahwa Jatim menjadi provinsi dengan orang miskin terbanyak. Di antara total 28,01 juta orang miskin, yang berada di Jatim mencapai 4,7 juta jiwa. Posisi kedua dan ketiga ditempati Jawa Tengah dengan 4,51 juta jiwa dan Jawa Barat (Jabar) dengan 4,22 juta.
Pada 2016 jumlah penduduk Jabar 47,38 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk Jatim 39,01 juta jiwa. Dari data itu, jelas Jabar memiliki penduduk lebih banyak daripada Jatim dengan selisih sekitar 8 juta jiwa. Lalu, dengan jumlah total penduduk yang lebih banyak, mengapa Jabar memiliki angka kemiskinan lebih kecil daripada Jatim?
Ini tentu terkait dengan kapasitas leadership kepala daerah yang memiliki kemampuan perencanaan dan implementasi kebijakan yang baik. Tentu saja pekerjaan rumah besar bagi gubernur baru 2018 adalah bagaimana Jatim segera mempercepat pengentasan kemiskinan, yang bisa menyamai atau malah melewati prestasi provinsi lain.
Patut disyukuri, problem besar kemiskinan di Jatim tampaknya disadari semua cagub-cawagub. Hal itu terungkap dari pengentasan kemiskinan menjadi prioritas program unggulan pasangan calon (paslon) Khofifah Indar ParawansaEmil Dardak dan Saifullah YusufPuti Guntur Soekarno. Di program Khofifah, pada poin 1 yang disebut Bhakti 1 adalah Jatim Sejahtera yang orientasinya untuk pengentasan kemiskinan menuju keadilan dan kesejahteraan sosial.
Sementara itu, di program unggulan Saifullah, pada poin 1 diberi istilah PKH Super, disebutkan diciptakan untuk melengkapi program keluarga harapan (PKH) yang dikembangkan Presiden Jokowi. Kata super dibubuhkan demi memberikan tambahan layanan seperti pemberian modal usaha untuk perempuan miskin melalui Jalin Matra Plus dan pemenuhan gizi untuk masyarakat miskin.
Meski Khofifah dan Saifullah samasama menyebutkan kata ”miskin” pada peringkat pertama program unggulannya, itu memiliki makna dan implikasi yang berbeda jika memang konsisten dilaksanakan bila kelak terpilih. Kalimat pengentasan kemiskinan menuju keadilan dan kesejahteraan sosial pada program Khofifah berimplikasi luas dalam kebijakan pengentasan kemiskinan yang berdimensi struktural, kultural, lintas gender, dan sebagainya. Tetapi, pada program unggulan poin 1, Saifullah yang menekankan kalimat ”memberi tambahan layanan seperti pemberian modal usaha untuk perempuan miskin melalui Jalin Matra Plus, pemenuhan gizi untuk masyarakat miskin” mendekati masalah kemiskinan dengan lebih banyak dari kacamata gender dan karikatif melalui pemenuhan gizi.
Kedua cagub tentu memiliki argumentasi sendiri mengapa memilih pendekatan yang berbeda dalam penanganan kemiskinan. Perbedaan itu sebagai rujukan pilihan sehingga tidak membingungkan calon pemilih. Tetapi, akan lebih bagus kalau cagub-cawagub menyebut program pengentasan kemiskinan dengan target terukur, khususnya dengan angka kuantitatif. Misalnya, dalam setahun menjabat, akan mengentaskan 10.000 rakyat miskin menjadi sejahtera. Demikian juga di bidang lain. Penyebutan program yang lebih terukur ini penting agar rakyat memiliki pegangan gambaran yang jelas saat menentukan pilihannya. Terutama manfaat yang diperoleh sekaligus memudahkan saat menagih janji kampanye.
Selain itu, penanganan kemiskinan butuh pemahaman permasalahan kemiskinan yang kompleks sekaligus pendekatan komprehensif dan lintas sektoral. Seperti diketahui, kantong-kantong orang miskin berada di wilayah pedesaan, mengingat kehidupan pedesaan berhubungan erat dengan sektor kemiskinan. BPS mencatat, dari jumlah nasional penduduk miskin 28,28 juta orang, 63 persen lebih tinggal di desa yang sebagian besar petani. Mayoritas rakyat miskin di Pulau Jawa, khususnya Jatim.
Sebagaimana di daerah lain, kesejahteraan petani Jatim di era pemerintahan Jokowi semakin merosot. Data BPS menunjukkan, upah harian (riil) petani mengalami penurunan dari Rp 38.955 (Oktober 2014) menjadi Rp 37.860 (Oktober 2017). Penghasilan sekecil itu pasti tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Pemicu rendahnya penghasilan petani adalah terus merosotnya harga gabah. Harga yang murah sering kali di bawah Rp 4.000, paling tinggi Rp 5.000, bahkan di daerah tertentu bisa anjlok jadi Rp 3.800 per kilogram. Padahal, berdasar data International Rice Research Institute (IRRI), biaya yang dikeluarkan petani untuk menghasilkan 1 kilogram gabah rata-rata Rp 4.079. Tak mengherankan jika beberapa waktu lalu banyak petani seperti di Magetan dan daerah lain yang mengeluh hasil penjualan gabah mereka tak sepadan dengan biaya tenaga, pembelian pupuk, serta benih.
Belakangan nasib petani semakin buruk akibat gencarnya impor komoditas pertanian oleh pemerintah. Di awal 2018 saja Kementerian Perdagangan sudah mengalokasikan impor beras 500 ribu ton dan jagung 600 ribu ton. Melihat tantangan berat tersebut, cagub-cawagub dalam pilgub Jatim sepatutnya berpikir keras mengatasi kemiskinan dengan menekankan berbagai program ke sektor pertanian dengan dukungan alokasi APBD dan instrumen lain. *) Mantan staf ahli Pusat Pengkajian DPR/MPR, direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)