LAHP ORI Belum Direspons Pemkot
SURABAYA – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jatim meminta Pemkot Surabaya segera menuntaskan kasus pelanggaran maladministrasi selama 2017. Tiga pelanggaran tersebut sudah disampaikan ORI Jatim melalui laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP).
Tiga maladministrasi tersebut merupakan laporan masyarakat. Pelanggaran terjadi di beberapa bidang. Di antaranya, perizinan bangunan, kepemilikan, dan sengketa lahan.
Koordinator Bidang Perizinan ORI Jatim Ahmad Khoiruddin menjelaskan, LAHP pertama pada 2017 dikeluarkan ombudsman pada 22 Mei 2017. LAHP ditujukan pada dinas perumahan rakyat dan kawasan permukiman, cipta karya dan tata ruang (DPRKPCKTR). Pemkot dianggap memperlambat proses perizinan surat keterangan rencana kota (SKRK) dan izin mendirikan bangunan (IMB) dari PT Nampi Kawan Baru.
Pemkot menolak menerbitkan SKRK dan IMB lantaran tanah tersebut masih berstatus tanah negara. Padahal, tanah yang sebelumnya merupakan aset Kementerian Hukum dan HAM itu sudah tukar guling dengan PT Dwi Budi Wijaya
Perusahaan tersebut selanjutnya menyewakan tanahnya kepada PT Nampi Kawan Baru. ’’Bukti penyewaan ini sudah sah. Karena sudah mempunyai bukti sewa,’’ jelasnya.
Udin –sapaan akrab Ahmad Khoiruddin– menjelaskan bahwa bukti tersebut seharusnya sudah kuat sebagai syarat untuk mendapatkan izin. Sebab, Perwali Nomor 57 Tahun 2015 tentang Teknis Pengendalian Pemanfaatan Ruang sudah memberikan syarat tersebut. Khususnya melalui pasal 13 pada ayat 2. ’’Proses memperlambat perizinan ini memunculkan kesimpulan dari ombudsman bahwa pemkot telah melakukan maladministrasi,’’ katanya.
Sementara itu, LAHP kedua juga belum direspons pemkot. LAHP tersebut terkait dengan pemberian ganti rugi tanah untuk pembangunan MERR II-C kepada seorang warga. Dalam perkembangan kasus itu, pemkot menunda memberikan ganti rugi kepada warga yang melapor ke ombudsman.
Pemkot beralasan, penundaan itu dilakukan setelah ada salah seorang warga lain yang melayangkan somasi ke pemkot terkait ganti rugi tersebut. Warga yang melayangkan somasi itu menyatakan keberatan jika orang yang melapor ke ORI mendapatkan ganti rugi. ’’Pemkot akhirnya menganggap masalah ini masuk kategori sengketa,’’ paparnya. Pemkot pun menempuh jalur konsinyasi.
Langkah pemkot itu, menurut ORI Jatim, tidak tepat. Sebab, proses tersebut hanya terkendala adanya somasi dari satu pihak. Proses konsinyasi itu seharusnya juga tidak ditempuh karena masalah belum masuk ke ranah pengadilan sehingga belum bisa disebut sengketa.
Sementara itu, Koordinator Bidang Pendidikan ORI Jatim Vice Admira Firnaherera menyatakan, pelanggaran maladministrasi juga terjadi di dunia pendidikan. Khususnya terkait sengketa lahan yang terjadi antara SD Darul Ulum di bawah Yayasan Maarif dan Yayasan Darul Hikmah.
Kepala Kantor Perwakilan ORI Jatim Agus Widiyarta menjelaskan, dari tiga laporan LAHP yang diberikan kepada pemkot, dua di antaranya sudah diberikan kepada tim resolusi ORI Pusat. Pemberian LAHP kepada ORI Pusat itu bertujuan menentukan tindak lanjut. Misalnya, terbitnya rekomendasi dari ORI Pusat. ’’Jika LAHP yang diberikan ORI Jatim itu ada yang diterbitkan rekomendasinya, pemkot wajib mematuhi saran yang diberikan,’’ jelasnya.