Kini Ada Yang Punya Bukti Pembelian Saham Kapal Haji
Warga Aceh setelah Publikasi Kisah Nyak Sandang dan Pesawat Pertama RI
Perjalanan haji zaman dahulu ternyata menyisakan banyak kisah. Bukan hanya lama perjalanan lantaran menggunakan jalur laut. Ada juga kisah peran jamaah dalam pembelian sarana transportasi.
BUKTI kepemilikan saham kapal haji berupa selembar kertas dengan kombinasi warna hijau dan putih. Ada gambar Kakbah dan tulisan ”Arafat” yang sangat mencolok. Di bagian tengah terdapat tulisan nominal angka pembelian dalam rupiah.
Selembar kertas itulah yang ditunjukkan Armia bin Mahjidin kepada wartawan di Sekber Jurnalis Banda Aceh kemarin (4/4). Di lembaran kertas itu tertera jelas nominal sebesar 500 rupiah. Di bagian bawah tertera atas nama pembeli, yakni Tgk Mahjidin, alamat Lamtinipung, Tangkeb, Darussalam, Banda Atjeh. Saham ditandatangani Direktur Utama PT Arafat Brig Djen TNI Roeshan Roesli.
Armia adalah anak Mahjidin. Kepada wartawan, dia menceritakan bahwa ayahnya menunaikan ibadah haji pada 1965. ”Ayah saya sudah membayar biaya haji. Tapi, pada saat itu dia diwajibkan membeli saham kapal,” katanya.
Armia mengaku masih ingat, ongkos naik haji (ONH) pada 1965 sebesar Rp 50 ribu. Sebagai pedagang, ayah Armia sangat bisa membayar ongkos sebesar itu. Tapi, membayar ONH saja tidak lantas bisa berangkat haji. Ada persyaratan tambahan yang entah datangnya dari mana. ”Cerita ayah saya, ada beberapa pejabat datang dan mengatakan harus beli saham untuk pembelian kapal keberangkatan ke Makkah,” kenang Armia.
Semua persyaratan itu pun disetujui Mahjidin. Pendaftaran dilakukan, kemudian namanya masuk kuota berdasar undian. ”Saya dulu ikut waktu ambil undian. Ayah merupakan satu di antara lima warga Aceh Besar yang saat itu dapat undian (kuota) berangkat haji,” papar Armia.
Begitu mendapat nomor keberangkatan, Mahjidin memenuhi kewajiban pembayaran ongkos haji Rp 50 ribu. Setelah pembayaran ONH itulah, ada yang datang untuk meminta Mahjidin membeli saham kapal. ”Kalau gak beli saham kapal, tak bisa berangkat haji,” terang Armia yang kini berusia 65 tahun.
Tak ingin niat naik haji dibatalkan, Mahjidin menyetujui syarat pembelian saham kapal. Satu saham seharga Rp 100. Tapi, calon jamaah haji wajib membeli lima saham, jadi totalnya Rp 500. Bukti saham berupa lembaran kertas yang dikeluarkan pada 1 Januari 1969 oleh PT Arafat. Di dalamnya terdapat penjelasan untuk pembelian kapal senilai Rp 560 juta . Terbagi atas 1.120.000 lembar saham. Tiap lembar Rp 500.
Mengenai tanggal pengeluaran saham empat tahun setelah keberangkatan, Armia mengaku tidak tahu kenapa hal tersebut terjadi. Menurut dia, waktu itu sang ayah hanya tidak ingin niatnya untuk naik haji batal hanya karena saham yang dia pun tak pernah mengerti sebelumnya apa itu saham.
Sang ayah akhirnya berangkat haji naik kapal yang dibeli dari Freeport (Pelabuhan Bebas) Sabang. Armia ikut mengantar keberangkatan sang ayah pada saat itu. ”Waktu itu sudah banyak yang naik kapal untuk haji. Ayah dapat tempat di dek atas,” tambahnya.
Kini armia hanya ingin mengetahui perusahaan yang menjual saham kepada ayahnya dan nilai saham yang diperkirakan sudah naik. Karena itu pula, dia bersama anaknya, M. Zaki, menunjukkan bukti kepemilikan saham tersebut kepada publik.
Zaki mengakui, persoalan saham kapal haji itu diangkat setelah dirinya dan keluarganya mendengar gencarnya pemberitaan tentang Nyak Sandang yang ikut menyumbang dana pembelian pesawat pertama RI. Mereka juga mendengar pemerintah Aceh sedang memfasilitasi keberadaan obligasi-obligasi yang ada di tangan warga Aceh.
”Kami hanya ingin tahu bagaimana nilai saham yang dibeli oleh kakek saya ini. Apa tanggung jawab perusahaan (PT Arafat) tentang hal ini. Kemudian, apakah pemerintah dapat memfasilitasi,” tutur Zaki.