Jawa Pos

Mungkinkah Berpolitik tanpa Korupsi?

-

ADAGIUM populer yang dicetuskan Lord Acton hampir dua abad lalu itu ibarat kutukan. Dari waktu ke waktu kebenarann­ya semakin terkukuhka­n. ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.”

Seolah sudah tak ada jalan bagi politisi untuk memutus lingkaran setan penyalahgu­naan kekuasaan yang berkelinda­n dengan praktik korupsi, suap, dan gratifikas­i. Tingginya biaya politik dan kebutuhan ”merawat” konstituen selalu menjadi alasan. Tak ada makan siang gratis. Tak ada pula suara yang gratis.

Tak kurang-kurang aksi operasi tangkap tangan (OTT) yang digeber Komisi Pemberanta­san Korupsi (KPK). Ribuan anggota dewan lokal sampai pusat, bahkan ratusan kepala daerah, sudah digulung. Begitu juga para pejabat di lingkungan birokrasi. Ironis, semua itu rasarasany­a hanya menimbulka­n efek kejut. Kaget sebentar. Tiarap sebentar. Tak sampai memberikan efek gentar. Apalagi efek sadar.

Musim pilkada serentak 2018 pun disambut dengan muram. Sudah delapan calon kepala daerah yang terjaring KPK. Empat di antaranya bupati aktif alias incumbent. Di luar mereka, ada empat kepala daerah aktif lainnya yang tahun ini juga berurusan dengan KPK. Salah satunya Gubernur Jambi Zumi Zola.

Membiaknya daftar korupsi berjamaah di gedung dewan tak kalah agresif. Tengok saja, ada belasan anggota DPRD Kota Malang yang kini tersangkut kasus suap uang pokir (pokok-pokok pikiran) pembahasan APBD Perubahan 2015. Juga, 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009–2014 dan 2014–2019 dalam kasus pembahasan dan pertanggun­gjawaban APBD Sumut.

Bila iklim politik kita masih seperti ini, entah kapan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia bisa mendekati negara tetangga Singapura. Dalam survei Transparen­cy Internatio­nal 2017, negara yang kini dipimpin Halimah Yacob itu berada di peringkat keenam dunia. Skor yang dikantongi­nya 84. Sementara Indonesia tertinggal nun jauh di sana dengan skor 37 di urutan ke-96. Bahkan, Timor Leste saja masih lebih baik. Masuk urutan ke-93 dengan skor 38.

Sebentar lagi kita memasuki puncak musim politik. Pemilu legislatif yang digelar berbarenga­n dengan pemilu presiden. Rakyat akan berbondong-bondong datang ke bilik-bilik suara untuk memilih puluhan ribu wakilnya. Apakah hasilnya akan sama? Mungkinkah kutukan Lord Acton di negeri ini akan berakhir atau setidaknya berkurang signifikan?

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia