Jawa Pos

Tak Boleh Kavling Lahan Pamurbaya Pemilik Mengadu ke Dewan

-

SURABAYA – Forum Komunikasi Korban Konservasi Pantai Timur Surabaya (FK3 Pamurbaya) mengadu ke DPRD Surabaya kemarin (4/4). Mereka mengeluh karena tidak pernah diberi sosialisas­i bahwa tanah mereka masuk kawasan lindung. Padahal, penetapan kawasan itu ada sejak Perda Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ditetapkan

’’Kami mencoba cari tahu, tapi malah dipingpong,’’ jelas Koordinato­r FK3 Pamurbaya Nawawi Ahmad.

Karena itulah, warga ingin mengajukan rapat hearing dengan DPRD Surabaya. Sebelumnya, mereka mengadu ke DPRD Jatim, tetapi tak mendapat hasil. Kali ini, mereka diterima Ketua DPRD Surabaya Armuji dan Ketua Komisi A DPRD Herlina Harsono Njoto. Tak ada anggota dewan yang lain lantaran hampir seluruh anggota dewan pergi kunjungan ke kementeria­n di Jakarta.

Karena aduan tersebut belum resmi, Armuji meminta warga membuat surat pangajuan hearing. Ternyata, warga sudah membawa surat tersebut. Hearing pun dijadwalka­n pekan depan. Armuji tak mau rapat dilanjutka­n. Dia menerangka­n bahwa keluhan warga yang disampaika­n kepada dirinya dan Herlina percuma. Sebab, rapat tersebut tidak dihadiri pejabat pemkot sama sekali. ’’Aku wes paham maksud Sampean. Wes talah mene ae ngomele nek onok pemkot. Saiki percuma,’’ ujar Armuji.

Kasus itu sebenarnya sering dibahas DPRD setahun silam. Gara-garanya, ditemukan ratusan rumah yang telanjur dibangun di Gununganya­r Tambak dan Medokan Ayu. Kini pemilik bangunan bingung karena rumah yang telanjur didirikan ditempeli stiker pelanggara­n izin mendirikan bangunan (IMB). Pelanggara­n itu terjadi karena bangunan berdiri di lahan hijau. Seharusnya, rumah hunian berdiri di lahan yang peruntukan­nya berwarna kuning.

Nawawi tak menampik bahwa warga ingin mengavling tanahnya. Saat ini penghasila­n sebagai petambak semakin tidak menentu karena kualitas air tercemar. ’’ Di sisi lain, kami juga terbebani PBB (pajak bumi dan bangunan, Red) yang tinggi sekali,’’ kata dia.

Rata-rata PBB yang harus dibayarkan adalah Rp 7 juta per hektare. Beberapa petambak memiliki lahan seluas 10 hektare. Artinya, dia harus membayar Rp 70 juta per tahun untuk membayar PBB itu. ’’Jelas tidak kuat,’’ timpal pemilik tambak lainnya, Choirul Anam.

Herlina sempat mendamping­i warga Gununganya­r Tambak yang terkena pembebasan. Dia meminta pemkot adil. Jika masyarakat tidak boleh mengavling tanahnya, dia berharap pemilik lahan di kawasan lindung diberi kepastian kapan lahan mereka bisa dibebaskan. Sebab, setelah menetapkan kawasan lindung tersebut, pemkot wajib membebaska­n.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia