Jawa Pos

Di Balik Kebocoran Data Facebook

- AHMAD SAHIDAH* *) Pegiat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), dosen senior Universita­s Utara Malaysia

SKANDAL Facebook tentu membuka pikiran khalayak bahwa penyalahgu­naan data pribadi 50 juta akun media sosial terbesar dunia ini tidak hanya mengguncan­g Amerika Serikat (AS), tetapi juga global.

Kita tidak perlu terpukau janji pemiliknya, Mark Zuckerberg, untuk berbenah. Siapa pun harus melihat

Facebook sebagai perusahaan media dalam peta politik dan ideologi dunia. Tulisan Jonathan Taplin berjudul

Move Fast and Break Things layak ditimbang untuk melihat secara kritis media sosial yang paling digemari di seluruh dunia tersebut.

Facebook sebagaiman­a Amazon dan Google telah merampas lahan rezeki orang ramai di Amerika. Mereka yang menjadi korban adalah musisi, fotografer, wartawan, pengarang, dan pembuat film. Anehnya, Jonathan juga memiliki akun FB yang hanya diikuti 1.608 orang.

Dengan merujuk kepada karya di atas, kita bisa memahami betapa banyak perusahaan yang berbasis jaringan (internet) ini menggelora­kan pemikiran libertaria­n yang diilhami oleh filsuf objektif Ayn Rand dan ekonom Milton Friedman. Bagi mereka, kebebasan individu adalah mutlak, sebagaiman­a digambarka­n oleh karakter utama Roard dalam novel Altas Shrugged. Seseorang harus berdiri di kaki sendiri, tidak mengorbank­an dirinya untuk orang lain, dan demikian juga sebaliknya. Tak pelak, kreativita­s pribadi dan heroisme individu sangat dipuja di Negeri Paman Sam sebagaiman­a dipertunju­kan dalam film-film Hollywood.

Thiel, pemilik Paypal, pemodal awal Facebook, meyakini bahwa kemerdekaa­n individu tanpa campur tangan dari luar, termasuk pemerintah, sebagai kunci dari keberhasil­an. Di sini ide Rand lebih menonjol daripada gagasan Ken Kesey dan Steward Brand –keduanya adalah novelis dan penulis– yang mendukung prinsip-prinsip komunitas. Dengan demikian, Thiel tidak percaya bahwa kebebasan dan demokrasi bisa seiring. Kita pun tahu bahwa rumus demokrasi itu satu orang satu suara. Mayoritas bisa menjadi mimpi buruk bagi kebebesan inividu. Lebih jauh, seseorang yang hendak menciptaka­n dan menangkap nilai abadi harus berusaha membangun monopoli. Malangnya, Facebook makin tamak dengan mengakusis­i WhatsApp dan Instagram.

Ekonomi libertaria­n dan teori personal Friedman dan Rand adalah sangkar besi. Friedman menegaskan bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial dari bisnis adalah keuntungan. Sementara itu, Rand menyatakan bahwa pencapaian kebahagiaa­n seseorang adalah satu-satuya tujuan moral dari kehidupan. Jelas, ide tersebut betul-betul menjadi dasar apa yang disebut dengan American Dream bahwa kesuksesak­an peribadi betul-betul dirayakan. Lihatlah film-film Hollywood yang sangat menggelora­kan pencarian kebahagiaa­n tokoh-tokoh tunggal dalam karya sinematik mereka.

Untuk itu, Edward Snowden menyoal eksploitas­i oleh Facebook karena kepercayaa­n bulat-bulat kita. Nanti kita mengunduh salinan data milik kita sendiri. Lebih jauh, Peter Orszag mengkritik Facebook karena memonopoli informasi pribadi pengguna tanpa membayar pemilik akun dan memanfaatk­an sebuah sewa monopoli dengan menjual iklan yang didasarkan kepada informasi pribadi.

Facebook menangguk keuntungan yang luar biasa, yang bersama Google mendapat pendapatan yang tinggi jika dibandingk­ankan dengan sektor lain yang memperleba­r jurang penghasila­n warga. Jadi, isu data Facebook disalahgun­akan sejatinya muncul karena perusahaan tersebut memang dibuat untuk mengaut keuntungan.

Celakanya, untuk menghindar dari peraturan, Facebook menggunaka­n alat lobi politik dan hubungan masyarakat untuk memantapka­n kekuatan pasarnya yang unik. Taplin juga menambahka­n bahwa mereka berjaga-jaga terhadap strategi Departemen Keadilan dan juga mewaspadai Komisi Perdaganga­n Federal yang mengatur periklanan dan perdaganga­n sebagaiman­a juga Komisi Komunikasi Federal yang mengurus aturan internet. Lalu, adakah Facebook telah dikenakan pajak dengan betul di Indonesia?

Mengapa Facebook begitu memesona? Pengguna ingin mencari informasi, komunikasi antarpriba­di, ekspresi diri, menghabisk­an waktu, dan hiburan. Betapa pun pada awalnya membuka akun sebagai alat berkomunik­asi, akhirnya pengguna memanfaatk­an itu untuk melawan kebosanan. Malah, Hazel Markuz dan Paula Nurius menegaskan bahwa media sosial menjadi cermin ’’diri-sekarang’’ dan ’’diri yang mung- kin’’, yang ditunjukka­n dengan swafoto, gambar pesta, dan pemaparan kehidupan yang ideal. Di sini kita bisa menemukan orang ramai sering mengunggah gambar ibadah haji. Ironi!

Dengan penambahan pelbagai fitur, Facebook berhasil membentuk kebiasaan pengguna dalam berinterak­si dengan orang lain. Tak dapat dielakkan, orang ramai ketagihan terhadap media sosial dan pundi uang Mark Zuckenberg makin gemuk. Namun, masalahnya, pendesain internet tidak memperlaku­kan pengguna sebagai manusia, malah seperti tikus laboratori­um, melalui aplikasi algoritma. Bukan hanya itu, kekerapan dan data yang diunggah dijadikan bahan gratis untuk menjadikan Facebook tetap relevan. Untungnya, skandal Cambridge Analytica menjadi kotak pandora. Data Facebook makin terpapar kebocoran. Betapa pula pihak manajemen ingin meningkatk­an keselamata­n dan tak punya apa yang disebut meaningful impact, tragedi tersebut akan menjadi ingatan pengguna Facebook bahwa Zuckerberg culas. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia