Tetap Bertahan karena Ada Pembeli meski Sedikit
Perjuangan Karidi Mempertahankan Eksistensi Bakiak Tradisional
Sebelum ada sandal karet, masyarakat memakai sandal berbahan kayu. Sandal tradisional itu dikenal dengan nama bakiak atau disebut thiklek dalam bahasa Jawa. Kini bakiak harus berjuang mempertahankan eksistensi karena digempur sandal yang lebih modern.
BAKIAK adalah salah satu jenis alas kaki yang beberapa dekade silam menjadi primadona warga sebelum sandal karet merajai pasaran. Kendati demikian, bakiak masih mudah ditemukan, khususnya di musala, dan dipakai mereka yang sudah sepuh.
Benda yang juga ada di Tulungagung itu ternyata hasil produksi rumahan dari Desa Serut, Kecamatan Boyolangu. Namun, saat ini jumlah perajinnya tinggal hitungan jari.
Karidi salah satunya. Pria 80 tahun tersebut masih menekuni usaha yang pernah mengalami masa kejayaan pada dekade 1960-an itu. Saat ini pun dia hanya mengerjakan sendiri. Padahal, dulu dia pernah memiliki beberapa karyawan maupun tetangga yang ikut bekerja di situ. ”Semampu yang saya bisa dalam membuat bakiak. Apalagi, sekarang saya sudah tidak ada yang bantu,” katanya.
Karidi menyadari, peminat sandal bakiak tak seramai dulu. Dari ceritanya, bakiak pernah eksis pada 1965. Produksinya banyak. Begitu juga pemakainya. ”Sekarang saingan paling berat itu sandal jepit karet buatan pabrik,” imbuhnya.
Salah satu alasan Karidi bertahan membuat sandal bakiak adalah masih adanya pembeli meski tak seramai dulu. Itulah yang membuat pria sepuh tersebut tetap bersemangat mempro- duksi sandal yang sudah ada sejak zaman penjajahan itu.
Alasan lain, sandal bakiak masih diminati pembeli dari luar kota. Salah satunya Jakarta. Meski hanya dibeli sekitar sebulan sekali. Karena itulah, Karidi juga tetap menyetok sandal bakiak, termasuk kayu. Kayu gelondongan dengan panjang sekitar 3 meter diletakkan di halaman dan teras rumah. Kayu tersebut merupakan jenis kayu waru. Itu yang akan digunakan untuk membuat sandal bakiak.
Sebenarnya kayu jenis apa pun bisa dipakai untuk bakiak. Namun, kayu waru dianggap paling bagus karena ringan, tapi tetap kuat. Selain itu tahan air dan rayap.
Dalam pembuatannya, Karidi memilih cara tradisional. Yakni memakai peralatan seperti golok, gergaji, ataupun ampelas. ”Pembuatan bakiak memang lebih banyak dengan metode tradisional hingga siap dilempar ke pasaran. Mulai memotong hingga penyelesaian akhir,” ungkapnya.
Setelah halus, dilanjutkan pengecatan atau divernis. Tujuannya, sandal bakiak lebih awet dipakai. Karena tidak akan mudah dimakan rayap.
Agar lebih menarik, dipilih warna cerah seperti merah, hijau, dan kuning.
Bukan hanya itu, Karidi juga melukis berbagai gambar di sandal bakiak buatannya. Contohnya gambar bunga, daun, dan kupu-kupu. Sandal bakiak yang sudah dicat dijemur di bawah terik matahari. Proses itu membutuhkan waktu satu sampai dua hari. Jika cuaca tidak mendukung, misalnya karena hujan, pengeringan bisa lebih lama. ”Intinya, membuat bakiak tidak bisa tergesa-gesa. Harus telaten,” tutur bapak sembilan anak tersebut.
Untuk mendapatkan bahan baku, kakek 18 cucu itu tidak merasa kesulitan. Dia membeli dari penjual kayu lokal.Dalam sehari Karidi mengaku tidak selalu memproduksi sandal bakiak. Sebab, dia tidak bisa tergesa-gesa.