Pada Nakal Itu Bisnisnya...
KISRUH satu NIK digunakan untuk mendaftarkan jutaan nomor ponsel ditengarai dilakukan operator. Tudingan bahwa registrasi masal dan tidak wajar itu karena ada campur tangan pihak di operator disampaikan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh
”Pada nakal itu, Mas, berbisnisnya,” kata dia kemarin (10/4).
Zudan memastikan bahwa pendaftaran secara masal itu dilakukan dari gerai-gerai resmi milik operator. Dia menegaskan, tidak mungkin registrasi jutaan nomor dengan satu NIK tersebut dilakukan sendiri. Oleh jempol penduduk. Apalagi, registrasi itu bisa dilakukan dalam kondisi kartu perdana masih disegel.
Dugaan bahwa registrasi nomor ponsel secara masal dilakukan pihak operator juga dibenarkan Ketua Umum Kesatuan Niaga Cellular Indonesia (KNCI) Qutni Tyasari. Dia menjelaskan, secara teknis, terhadap kartu perdana yang masih tersegel, bisa dilakukan proses registrasi. Termasuk pengisian paket-paket layanan.
Qutni menerangkan, registrasi kartu perdana yang masih tersegel itu antara lain dimaksudkan untuk memasukkan benefit. ”Misalnya mau diisi kuota 10 GB. Itu (registrasi, Red) memungkinkan lewat sistem,” katanya.
Nah, yang jadi pertanyaannya, siapakah pihak yang memiliki sistem untuk registrasi kartu perdana tanpa membuka segel tersebut? ”(Yang punya sistem, Red) itu operator. Operator yang punya,” tandasnya. Dia menambahkan, pemilik outlet sejatinya juga kepanjangan tangan dari operator seluler.
Namun, di tengah gonjangganjing adanya satu NIK digunakan untuk registrasi 2,2 juta nomor ponsel, Qutni berharap publik tidak lantas mencari siapa pihak yang disalahkan. Sebab, tutur dia, data itu ditemukan pada masa transisi penerapan kebijakan registrasi kartu prabayar. Yakni mulai November 2017.
Qutni menambahkan, pada masa transisi, bisa jadi masih ada praktik registrasi nomor ponsel secara masal. Angka 2,2 juta nomor ponsel itu, jelas dia, sejatinya tidak bisa disebut besar. Sebab, imbuh Qutni, dalam satu tahun, nomor ponsel yang beredar dan dijual dari seluruh operator mencapai 500 juta nomor perdana.
Sejak tiga tahun terakhir, ungkap Qutni, terjadi pergeseran pola penggunaan nomor ponsel. Dia mengatakan, pada saat ini pelanggan lebih memilih membeli nomor perdana untuk dinikmati benefit kuota internetnya. Setelah itu nomor dibuang dan membeli nomor baru lagi.
”Siapa pun yang meregistrasi, yang penting bisa dipertanggungjawabkan. Kecuali bahasanya 2,2 juta nomor itu teridentifikasi melakukan penipuan. Itu lain cerita,” ucapnya.