Pertamina Tanggung Kerugian BBM
Tekor Rp 5,5 Triliun dari Premium dan Solar
JAKARTA – PT Pertamina (Persero) harus menanggung kerugian senilai Rp 5,5 triliun akibat tidak adanya kenaikan harga solar dan premium di tengah tren kenaikan harga minyak dunia selama Januari– Februari 2018. Kebijakan pengajuan izin untuk kenaikan harga JBU (jenis bahan bakar umum) seperti pertamax, pertalite, dan dexlite serta kewajiban penyaluran premium di Jawa, Madura, Bali (Jamali) bakal semakin membebani perseroan.
Direktur Pemasaran PT Pertamina (Persero) M. Iskandar mengatakan, kerugian tersebut naik hampir dua kali lipat bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. ”Sebelumnya kan masih untung. Ini kami betul-betul minus,” ujarnya di gedung DPR kemarin (10/4).
Iskandar menambahkan, adanya kewajiban penyaluran premium bagi Pertamina di Jamali pun akan berdampak terhadap kinerja keuangan dan bisnis perseroan. Dengan tren kenaikan harga minyak dunia, saat ini Pertamina menjual rugi pertalite (RON 90) dengan harga Rp 7.800,00 per liter.
Sebab, harga keekonomian pertalite seharusnya Rp 8.000,00 per liter. Dengan demikian, perseroan harus menanggung selisih harga Rp 200,00
per liter. ”Kan harganya naik terus (minyak dunia, Red),” ujarnya.
Iskandar menambahkan, jika pemerintah terpaksa tidak menyetujui pengajuan kenaikan harga BBM nonsubsidi milik perseroan, hal itu memang akan menghambat invetasi Pertamina ke depan. ”Seperti bangun kilang. Duitnya jadi terbatas,” terang Iskandar.
Di sisi lain, adanya proyek revitalisasi kilang seperti program Langit Biru Cilacap maupun RDMP (refinery development master plan) Balikpapan dapat mengurangi produksi BBM berkualitas rendah di bawah Euro 4 milik perseroan.
Sebab, BBM berkualitas rendah akan digantikan untuk memproduksi BBM dengan kualitas minimal Euro 4. Misalnya, kilang Cilacap yang akan memproduksi BBM berspesifikasi Euro 4 sebesar 300 ribu kiloliter (kl) pada akhir tahun ini.
Pertamina pun mencatat pada Januari–Maret 2018 konsumsi premium (Jamali dan non-Jamali) mencapai 2,4 juta kl. Untuk wilayah non-Jamali, konsumsi premium tercatat 1,4 juta kl.
Sementara itu, dalam RKAP (rencana kerja dan anggaran perusahaan) 2018, konsumsi premium ditargetkan 8,8 juta kl, termasuk Jamali dan nonJamali. BPH Migas memberikan kuota untuk penyaluran premium di nonJamali tahun ini sebesar 7,5 juta KL.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, sebenarnya pemerintah ingin ada konversi premium ke pertalite. Sayang, dengan naiknya harga minyak mentah dunia, ada masyarakat yang kembali beralih ke premium. ”Ya sudah kami salurkan premium. Toh, stoknya masih ada,” imbuh Djoko.
Dengan demikian, pemerintah harus menahan laju kenaikan harga JBU agar masyarakat tidak beralih dari konsumsi JBU ke premium. ”Jangan sampai dia (badan usaha, Red) menaikkan harga mentangmentang harga minyak dunia naik. Naikin tiga kali lipat tidak boleh,” ujarnya.