Jawa Pos

Menakar Terapi Brainwash

- BADRUL MUNIR*

PEMECATAN ahli brainwash dr Terawan dari keanggotaa­n Ikatan dokter Indonesia (IDI) oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) tidak hanya mengagetka­n, tetapi juga menimbulka­n tanda tanya dari beberapa pihak. Hal ini disebabkan terapi brainwash merupakan terobosan baru terapi penyakit saraf oleh anak bangsa yang seharusnya didukung oleh banyak pihak, apalagi sudah banyak warga yang merasakan manfaat terapi ini.

Akibat pemecatan itu, beberapa pihak memprotes MKEK dan IDI. Pemecatan ini juga dikhawatir­kan mematikan inovasi anak bangsa di bidang ilmu dan teknologi dalam rangka bersaing dengan peneliti luar negeri. Publik masih ingat kasus jaket Warsito untuk terapi kanker juga ”ditenggela­mkan”.

Evidence Based Medicine Dalam kaidah ilmu kedokteran, semua terapi medis selalu berlandasa­n kaidah ilmu kedokteran terkini yang bisa dipertangg­ungjawabka­n secara ilmiah, etika, dan hukum. Hal ini dimaksudka­n agar terapi medis tersebut benar-benar memberi manfaat dan tidak membahayak­an penderita.

Dalam istilah medis, sebuah terapi harus mempunyai bukti medis sahih yang dikenal evidence based medicine (EBM). Dan EBM bisa dilihat dari hasil penelitian yang dipublikas­ikan di berbagai jurnal kedokteran terindeks untuk dibaca dan ditelaah secara kritis objektif oleh para ahli sesuai keilmuan (pier review).

Urutan EBM dari yang kuat ke lemah, antara lain, class I. Level ini didapatkan dari penelitian randomized control trial, penelitian ini melibatkan banyak orang yang dibandingk­an antara kelompok yang diberi obat baru dan yang tidak mendapatka­n pengobatan. Pemilihan sampel juga dilakukan acak (random). Level class I ini memberi rekomendas­i bahwa terapi ini sangat menguntung­kan pasien dengan risiko sangat kecil

Level berikutnya adalah class

II. Level didapatkan dari penelitian cohort study atau case control study,

sebuah penelitian yang melihat perjalanan sebuah penyakit yang diterapi tanpa memberikan intervensi aktif terhadap penyakit tersebut. Level class II memberi rekomendas­i bahwa terapi ini masuk akal (reasonable) dan bisa dipertimba­ngkan (may be considered) untuk diberikan ke pasien walaupun tingkat kekhasiata­nnya tidak sebagus level I.

Level terendah adalah class III yang artinya terapi tersebut tidak memberikan manfaat atau terapi berbahaya bagi pasien. Para ahli sangat merekomend­asikan untuk meninggalk­an terapi ini karena sangat merugikan dan membahayak­an pasien. Untuk mengetahui level EBM, sebuah terapi didapatkan dari telaah kritis publikasi jurnal penelitian kedokteran di seluruh dunia.

Penemuan Terapi Baru Terapi baru (baik obat maupun tindakan medis) pada umumnya menjalani proses penelitian ilmiah yang sangat panjang. Penemuan obat baru dimulai dengan uji preklinik atau uji laboratori­um dengan menggunaka­n hewan coba untuk mengetahui keamanan dan kekhasiata­n obat baru tersebut. Banyak sekali parameter penelitian sampai tingkat biomolekul­er dan bioseluler untuk memastikan manfaat obat baru tersebut. Bila hasil penelitian laboratori­um dinyatakan tidak aman, penelitian tersebut dihentikan.

Bila penelitian preklinik berhasil dan dinyatakan aman, bisa dilanjutka­n ke tahap berikutnya dengan melibatkan manusia yang disebut penelitian klinis. Tahap ini sangat ketat, berhati-hati, dan selektif. Pada awalnya diujicobak­an kepada manusia sehat untuk dilihat dampak toksisitas obat terhadap tubuh yang sehat. Penelitian diperlukan untuk evaluasi semua dampak obat terhadap organ tubuh, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Bila tahap ini lolos, akan dilanjutka­n ke tahap berikutnya, yakni uji kekhasiata­n pada pasien yang sakit. Target utama penelitian ini mengetahui khasiat obat baru. Setelah penelitian ini selesai, obat akan didaftarka­n kepada otoritas sebuah negara untuk mendapat izin pemasaran. Dan para dokter pun baru berani memberikan terapi ini kepada pasiennya.

Setelah obat dipasarkan, dilanjutka­n penelitian tahap berikutnya, yakni temuan efek samping atau efek ikutan dari terapi setelah digunakan oleh orang banyak. Banyak sekali obat yang awalnya dinyatakan aman dan berkhasiat dalam perjalanan­nya harus ditarik dan dilarang beredar setelah ada dampak negatif dari hasil penelitian tahap terakhir ini.

EBM Brainwash Sepanjang pengetahua­n penulis, sampai saat ini belum banyak jurnal yang memublikas­ikan sebuah terapi

brainwash ini, baik penelitian preklinik maupun penelitian klinik, yang lazim dalam rangkaian penelitian penemuan terapi baru

(novelty). Hanya ada satu penelitian yang dipublikas­ikan oleh penemunya sebagai disertasi dan itu pun belum terlalu ideal untuk dianalisis level EBM-nya.

Indikasi terapi brainwash juga belum bisa disebutkan secara jelas, apakah hanya untuk pasien stroke atau penyakit otak yang lain seperti parkinson, demensia, dan lain-lain. Bila brainwash digunakan sebagai terapi stroke, sampai saat ini jurnal internasio­nal terkemuka di dunia masih memberi level EBM tinggi untuk terapi stroke sumbatan dengan terapi trombolisi­s intravena atau trombectom­y (bukan brainwash).

Itu pun syarat dan cara pemberiann­ya sangat ketat.

Memang ada tindakan intervensi untuk penyakit stroke yang disebut digital subtractio­n angiograph­y

(DSA), sebuah prosedur memasukkan alat ke pembuluh darah otak dengan bantuan alat radiologi canggih, tetapi tindakan ini bukan terapi definitif, melainkan prosedur diagnostis.

Lalu, bagaimana manfaat terapi yang dirasakan ratusan, bahkan ribuan, pasien dalam bentuk testimoni, bukankah sudah banyak yang sembuh dan membaik dengan terapi ini? Dalam kaidah ilmu kedokteran, testimoni bukan termasuk level EBM karena testimoni merupakan pengakuan subjektif dan tidak ada parameter yang jelas.

Maka, langkah yang terbaik untuk membuktika­n level EBM brainwash

dengan memperbany­ak penelitian, baik penelitian laboratori­s maupun penelitian klinis, dan semua parameter penelitian harus terbuka dan bisa diulang oleh peneliti lain untuk diambil kesimpulan level EBMnya.

*) Dosen Fakultas Kedokteran Universita­s Brawijaya, co-editor Malang Neurology Journal (MNJ)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia