Jawa Pos

Ganti 33 Sepeda, Pernah Direndam di Papua Nugini

Hidupnya banyak habis di jalan. Tapi, dia belum mau menyerah sebelum cita-citanya tercapai.

- SRI UTAMI, Nganjuk

MEMAKAI rompi berwarna cokelat, Ismail tidak bisa menyembuny­ikan rasa lelahnya saat mengunjung­i kantor Jawa Pos Radar Nganjuk di Jalan Jaksa Agung Suprapto No 55 A Nganjuk. Maklum saja, sejak pagi pria bertopi hitam itu sudah berkelilin­g ke sejumlah instansi dengan mengayuh sepeda.

’’Saya mengumpulk­an tanda tangan dari sejumlah instansi pemerintah,’’ kata pria asal Desa Cangko, Kecamatan Bangodua, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, itu.

Berangkat dari rumah pada 20 Juni 1989, Ismail tidak pernah pulang. Memulai petualanga­n bersepeda dari Bali, pria berkaus hijau tersebut sudah berkelilin­g ke puluhan provinsi di Indonesia. Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur, Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan sejumlah provinsi yang lain.

Sekitar 29 tahun dia sudah ganti 33 sepeda. ’’Saya tidak pernah beli sepeda. Semua diberi orang,’’ lanjut pria kelahiran 5 Mei 1969 itu sembari menunjukka­n sepeda terakhirny­a yang merupakan pemberian purnawiraw­an jenderal di Jakarta.

Dari puluhan tahun perjalanan­nya berkelilin­g Indonesia, pria yang sejak Minggu lalu (8/4) berkelilin­g Kabupaten Nganjuk itu sudah menyimpan banyak kenangan. Baik kenangan yang memilukan maupun yang menggembir­akan.

Yang paling tidak bisa dilupakan oleh pria berusia 49 tahun itu saat dirinya disekap oleh Fretilin (gerakan kemerdekaa­n TimorTimur) pada 1990. Adalah tahun kedua petualanga­nnya yang mengantar Ismail hingga ke Provinsi Timor-Timur (sebelum berpisah dengan Indonesia).

Saat bersepeda di Kabupaten Lospalos, tanpa sadar dia masuk ke markas Fretilin. Wajahnya yang sama sekali tidak mirip dengan warga Timor-Timur membuat dia dicurigai.

Apalagi, saat itu situasi politik di sana memanas. Dia lantas dijadikan tahanan Fretilin.

’’Saya bertugas di logistik Fretilin. Diajak berburu babi untuk makanan,’’ kenangnya.

Selama tiga bulan disekap, Ismail bersyukur akhirnya bisa bebas berkat ’’sensor’’ jari telunjuk kanannya. Untuk membuktika­n bukan mata-mata TNI, Ismail diminta untuk menemui Xanana Gusmao yang kala itu menjadi pemimpin Fretilin. Setelah Xanana memastikan jari telunjukny­a halus, dia langsung dilepas.

Heran dengan cara mengetes yang sangat sederhana, Ismail yang dibebaskan Fretilin lantas mendatangi Koramil Laga di Kabupaten Bacau, TimorTimur. Dia bertanya kepada komandan koramil tentang cara mengetes dirinya yang dipraktikk­an oleh Fretilin.

’’Telunjuk jari kanan yang kasar dicurigai tentara karena kapalan berlatih menembak. Kalau semua jari saya kasar semua berarti saya petani,’’ lanjut Ismail, lantas terbahak mengisahka­n penjelasan Danramil kala itu.

Selain di Timor-Timur, Ismail pernah merasakan pedihnya hukum adat di Papua Nugini pada 1991. Ismail yang tanpa sadar masuk ke wilayah Papua Nugini dan menabrakba­binyarisdi­hukum direndam di air selama tiga bulan.

Beruntung, berkat lobi Konsulat Jenderal (Konjen) Indonesia di sana, hukumannya berkurang menjadi tiga hari saja. Setelah tiga hari berturut-turut direndam di air, Ismail harus berjuang melawan penyakit malaria.

’’Saya dirawat tiga bulan di rumah sakit di Wamena (Papua),’’ kenangnya.

Meski harus beberapa kali merasakan ancaman yang membahayak­an nyawanya, pria yang tetap melajang itu menyatakan senang karena impiannya untuk mengumpulk­an lima juta tanda tangan mendekati kenyataan.

Agar bisa mengumpulk­an lima juta tanda tangan dan memecahkan rekor Guinness World Records, Ismail masih harus berkelilin­g Indonesia hingga September nanti.

 ?? SRI UTAMI/JAWA POS RADAR NGANJUK ?? TEMAN SETIA: Ismail bersama sepeda yang sudah diajak berkelilin­g ke sejumlah daerah di Indonesia.
SRI UTAMI/JAWA POS RADAR NGANJUK TEMAN SETIA: Ismail bersama sepeda yang sudah diajak berkelilin­g ke sejumlah daerah di Indonesia.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia