Jawa Pos

Suka lantaran Ada Sensasi Penasaran

Komunitas Analog Surabaya, Pencinta Kamera Analog Pada era serbadigit­al kini, masih ada yang setia pada kamera analog. Tergabung dalam komunitas Analog Surabaya, mereka mengisi waktu dengan hunting bersama hingga memproses cuci film sendiri.

- RETNO DYAH AGUSTINA

KURSI-kursi di Tekop Jalan Slamet terisi penuh Senin lalu (9/4). Beberapa kamera analog diletakkan di atas meja. Roll film dan lensa berjajar. Para anggota komunitas Analog Surabaya sedang berkumpul. Mereka berbincang tentang kamera dan lensa yang sedang diincar.

Komunitas itu kini berusia satu tahun. Anggotanya terus berkembang hingga mencapai 100 orang. Bulan lalu mereka merayakan hari jadi dengan pameran karya. Hasil-hasil foto analog mereka dikurasi dan dipamerkan kepada khalayak umum. Meski mayoritas anggota memiliki latar belakang street photograph­y, mereka tidak membatasi objek yang ingin difoto. ”Pengin foto apa, ya bilang di grup. Kalau mau, ya join,” ujar Dimas Surya, salah seorang anggota.

Kegiatan hunting bareng itu biasanya dilakukan seminggu sekali atau per dua minggu. Setelah hunting, mereka memproses foto. Sebagian bisa melakukan cuci film sendiri. ”Tapi, terbatas di film black and white karena film warna sulit diproses sendiri,” jelas Hazmi Farkhan Haedar, anggota yang lain.

Dimas menyebutka­n, dirinya sudah terbiasa memproses film sendiri. Salah satu alasannya menghemat biaya. ”Kalau cuci di luar, bisa Rp 50 ribu untuk satu roll film yang isinya 36 foto,” jelas pria asal Surabaya itu

Mereka tetap setia pada kamera analog karena merasa bisa lebih menghargai proses. Tidak bisa menghapus foto yang dirasa jelek seperti saat pakai kamera digital. Dimas menjelaska­n, apa pun yang sudah difoto harus diterima dengan ikhlas. Tentu tidak sekali dua kali dia gagal mengambil foto yang diinginkan. ”Selain itu, ada rasa penasaran setiap habis ambil foto. Jadi nggak ya fotonya? Itu sensasi yang nggak didapat di kamera digital,” tambah Bintang Mas Sumarlin, anggota lain.

Kesenangan lain memakai kamera analog adalah bisa belajar untuk memutuskan dengan cepat. ”Waktu mau pencet shutter itu ragu, bagus nggak ya nanti. Tapi, kalau terlalu lama, momennya juga bisa hilang. Makanya harus cepat memutuskan, difoto atau nggak,” ungkap mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember itu.

Mendapatka­n kamera maupun filmnya tidaklah sulit. Mereka biasa memesan secara online. Daerah sekitar Pasar Pabean dan Ampel menjadi tempat hunting favorit. ”Karena kegiatanny­a beragam, jadi banyak hal yang bisa ditangkap momennya,” ucap Dimas yang merupakan mahasiswa Universita­s Surabaya.

Meski proses pemotretan hingga pencucian film bukan hal mudah, anggota komunitas pencinta kamera analog itu terus bertambah. Hazmi menyebutka­n, tidak sulit mengajak teman untuk menyukai fotografi analog. ”Caranya gampang, tunjukin hasil fotonya,” ungkapnya.

Menurut dia, banyak anggota yang kecemplung karena pesona hasil foto. ”Kadang roll film yang sudah kedaluwars­a, waktu dipakai, malah bikin efek warna yang beda dari yang lain. Malah makin cantik,” imbuhnya.

 ?? RETNO DYAH/JAWA POS ?? DISATUKAN HOBI: Anggota Komunitas Analog Surabaya, dari kiri, Ahmad Nur Aziz, Dimas Surya, dan Hazmi Farkhan Haedar dengan koleksi kamera mereka.
RETNO DYAH/JAWA POS DISATUKAN HOBI: Anggota Komunitas Analog Surabaya, dari kiri, Ahmad Nur Aziz, Dimas Surya, dan Hazmi Farkhan Haedar dengan koleksi kamera mereka.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia