Kobarkan Perang yang Nyaris Padam
AS akan keluar dari Syria secepatnya. Kalimat itu dilontarkan Presiden AS Donald Trump 29 Maret lalu di Ohio. Selang 15 hari kemudian alias Jumat (13/4), Trump berubah pikiran. Bersama dengan Inggris dan Prancis, presiden ke-45 AS itu mengerahkan pasukann
NEGARA-NEGARA sekutu itu menggunakan alasan polisional untuk melegitimasi serangan mereka. Yakni, bentuk balasan atas penggunaan senjata kimia oleh rezim Bashar Al Assad di Douma, Eastern Ghouta, 7 April.
Nah, serangan yang terjadi pada Jumat (13/4) itu diperkirakan akan berbuntut panjang. Perang yang mulai mereda akan kembali berkobar. Sekutu-sekutu Syria seperti Iran dan Rusia tidak akan tinggal diam. Begitu pula Hizbullah dari Lebanon yang merupakan kepanjangan tangan Iran. Syria juga diyakini tidak akan menghentikan aksi kejinya begitu saja meski sudah dibombardir AS dan sekutunya.
”Serangan itu tidak akan mencegah Assad untuk terus membantai penduduknya yang melawan dengan menggunakan senjata konvensional,” ujar analis di Institute for the Study of War Jennifer Cafarella seperti dilansir CNN.
Selama Assad masih ada, serangan senjata kimia sangat mungkin bisa dilakukan lagi. Sejarah mencatat, Syria melakukan serangan senjata kimia April tahun lalu di Khan Sheikoun. Ketika itu AS menjatuhkan misil serta bom sebagai pembalasan. Hasilnya, serangan senjata kimia tetap terulang.
Banyaknya pihak yang terlibat juga bakal membuat perang Syria sulit terhenti. Yang terjadi di negara tersebut bukan hanya perang sipil antara oposisi bersenjata melawan rezim Assad.
Ada ”perang-perang” lainnya di dalamnya. Mulai perang proxy antara Rusia dan AS, pertempuran Hizbullah dan Israel, militan ISIS dan AS-Rusia, dukungan uang dan persenjataan Iran ke Syria untuk memukul mundur oposisi bersenjata, serta Turki yang memerangi milisi Kurdi. Semua campur tangan itu membuat situasi kian keruh.
Saudi ikut turun tangan secara tidak langsung dengan cara mendanai oposisi bersenjata di Syria. Negara-negara Eropa juga ikut terlibat dan mendukung AS.
Perang Syria selama tujuh tahun itu juga membuat Eropa kelimpungan. Sebab, pengungsi Syria berduyun-duyun ke Benua Biru untuk mencari perlindungan.
AS yang getol menyerang Syria malah justru menutup pintu untuk para pengungsi itu. Christopher Phillips, penulis buku The Battle for Syria: International Rivalry in the New Middle East, Sam juga meluas. Mulai mencegah perluasan pengaruh Iran hingga menghukum penggunaan senjata kimia seperti sekarang. Bagi AS, kali ini juga menjadi ajang perang tak langsung dengan musuh bebuyutan mereka selama ini, Rusia. Menurut Phillips, ketidak konsistenan itu membuat mayoritas kebijakan AS di Syria gagal.
Jika perang kembali berkobar, korban jiwa yang berjatuhan akan kian banyak. Padahal, dengan menyerahnya oposisi bersenjata di Douma, Eastern Ghouta, banyak pihak berharap perang yang merenggut lebih dari 400 ribu nyawa itu bisa berakhir di meja perundingan.
Ketakutan akan banyaknya korban yang bertumbangan setelah ini dirasakan benar oleh warga Syria yang tinggal di AS. Banyak keluarga mereka yang masih terjebak di Syria. Salah satunya Huda Shanawani yang tinggal di Millburn, New Jersey.
Dia menangis saat mendengar AS melontarkan misil ke negara asalnya itu. Shanawani langsung menghubungi keluarganya yang masih berada di Damaskus, baik via telepon maupun media sosial, tapi usahanya sia-sia. Dia merasa marah dan frustrasi.
”Saya tidak ingin melihat Damaskus berubah menjadi Baghdad,” ujar perempuan yang datang ke AS pada 1969 itu.
Ketua Syrian American Forum Ghias Moussa mengungkapkan hal senada. Dia ingin intervensi AS di Syria dihentikan. Dia dulu memilih Trump sebagai presiden karena suami Melania itu menolak intervensi militer AS di Syria. Saat kampanye, Trump juga menggagas zona aman untuk para pengungsi. ”Kami tidak yakin bahwa membunuh lebih banyak orang tak berdosa di Syria dengan mengebom mereka akan memperbaiki apa yang sudah terjadi,” terangnya seperti dilansir USA Today. (sha/c10/dos)
Ini pesan sejelas-jelasnya bahwa komunitas internasional tidak akan tinggal diam dan menoleransi penggunaan senjata kimia.”
THERESA MAY
PM INGGRIS Presiden AS, presiden Prancis, dan PM Inggris adalah kriminal yang telah melakukan tindak kejahatan.”
AYATOLLAH SEYYED ALI KHAMENEI PEMIMPIN TERTINGGI IRAN NOBUKI ITO/KYODO NEWS-AP Terima kasih Prancis dan Inggris atas kebijaksanaan dan kekuatan militer mereka yang bagus. Hasil maksimal. Misi selesai.”
DONALD TRUMP
PRESIDEN AS Tindakan AS mendestabilisasi situasi regional yang sudah rapuh. Rusia mempertimbangkan menyuplai sistem antimisil S-300 ke Syria dan negara-negara lain.”
KOLONEL JENDERAL SERGEI RUDSKOI STAF UMUM MILITER RUSIA