Kembali ke Kandang Wong
AYAHKU pernah memboncengkan aku dengan sepedanya di jalanan ini 27 tahun lalu dan sandal kiriku jatuh dan aku baru menyadari ketika sampai di rumah bahwa satu sandalku jatuh. Kami melewati deretan toko-toko. Aku menempel di boncengan, memeluk perutnya kuat-kuat, dan mendengar ia mengatakan: Seto pernah membobol lemari besi milik juragan toko sepatu ini.
Aku senang mendengar ayahku bercerita sambil mengayuh sepeda; aku senang mendengar ia menceritakan Seto, rasanya seperti mendengar cerita kepahlawanan. Kakiku kesemutan; sering begitu setiap kali aku membonceng sepeda ayahku. Mungkin karena itu aku tidak merasakan sandalku jatuh.
Di jalanan ini, empat tahun setelah orang-orang yang dianggap sampah (kami menyebutnya gali) disapu bersih oleh para penembak misterius, Seto berjalan sendirian, dengan rias wajah yang membuatnya tak dikenali, menuju Pasar Induk dan berpikir akan membeli pakaian untuk si Cacing dan kedua anak mereka. Keduanya bukan anak kandung Seto --yang pertama adalah anak Broto, gali yang ia hukum karena berkhianat, dan yang kedua anak si Cacing. Seto sendiri hanya mempunyai satu anak dari Tari, putri Pak Kolonel, dan tidak mungkin mempunyai anak lagi.
Sesungguhnya Seto bersedia menikahi Tari meskipun ia hanya mencintai gadis asal Pekalongan dan sudah bersumpah di dalam hati tidak akan menikahi perempuan selain gadis Pekalongan itu. Namun Pak Kolonel, yang menampung Seto di rumahnya, tidak sudi menikahkan Tari dengan pemuda gembel. Ia mengusir Seto dan memerintahkan para algojo untuk memburunya dan mereka memotong perkakas yang telah membuat Tari hamil.
Bertahun-tahun setelah itu Seto menikahi si Cacing karena Ripto memintanya menikahi gadis itu. ’’Adikku hamil dan ia harus punya suami,” kata Ripto. Tidak mungkin menolak permintaan Ripto. Ia gali paling kuat di Semarang setelah Saroni mati ditembak prajurit angkatan laut karena urusan pribadi di antara mereka. Seto sesungguhnya tidak takut jika harus bertarung dengan Ripto; ia yakin bisa mengalahkannya, tetapi ia tidak ingin
’’Sudah kukatakan aku pernah kemari. Sekarang ke mana orang-orang yang dulu tinggal di sini?” ’’Semua sudah menjadi hantu.” ’’Maksudku para perempuannya. Apakah mereka juga membunuh para perempuan?’’
’’Hanya para lelaki, dan sejak itu tak ada yang berani datang ke tempat ini.’’
Seto hampir tak tahan untuk terus berpurapura; ia ingin berterus terang saja kepada perempuan itu bahwa ia adalah Seto. Namun, ia tidak cukup bernyali untuk membuka diri. Mata perempuan itu seperti api yang layu; ia tidak tega menyaksikan mata perempuan itu. Sambil menoleh ke arah jalanan ia mengatakan: ’’Boleh kutahu di mana Seto sekarang? Waktu itu aku punya utang cukup besar kepadanya dan aku ingin membayar utangku.”
’’Ia sedang pergi beberapa waktu,’’ kata Ratmini. ’’Kapan ia kembali?’’
’’Aku tak akan mengatakannya.’’
’’Aku hendak membayar utang kepadanya.’’ ’’Lain waktu saja kau kemari lagi.’’
’’Aku tidak yakin akan datang lagi ke kota ini.
kuat yang memaksa perempuan itu mengenakan kaus tersebut pada hari itu. Ia tidak menyadari kenapa tangannya memilih kaus itu, namun ia memilih kaus itu dan bukan kaus yang lain.
’’Tolonglah aku,” kata Seto. ’’Kutitipkan uang ini kepadamu. Bagaimanapun utang harus dibayar. Aku tak ingin dikejar-kejar sampai ke liang kubur jika tidak mengembalikan uang yang kupinjam kepada Seto.’’
’’Kau tidak khawatir aku membawa lari uangmu?’’ tanya Ratmini.
’’Aku percaya kepadamu,’’ kata Seto.
Seto kemudian mengeluarkan segepok uang dari saku celananya dan menyerahkan uang itu kepada Ratmini. Jari-jari mereka bersentuhan. Seto memandangi wajah perempuan itu. Ratmini balas menatap mata Seto dan kemudian menunduk.
’’Kau bilang mengenal mataku,’’ kata Seto. ’’Apakah menurutmu mataku bisa dipercaya?’’
Pelan-pelan perempuan itu mengangguk dan Seto melanjutkan:
’’Aku tidak tahu apakah Seto akan pulang ke ke tepi sungai, tempatnya semula sebelum Seto mengajaknya ke ’’Kandang Wong’’.
’’Aku berharap Seto akan datang lagi ke tempat ini suatu hari,’’ katanya. ’’Hanya ia yang tahu cara menghidupkan lagi tempat ini.’’
Sambil berbicara, perempuan itu membersihkan alas tempat tidur. ’’Bukalah bajumu,’’ katanya.
Seto membuka kancing bajunya, tetapi gerakan tangannya berhenti pada kancing kedua dan tiba-tiba ia mengatakan ada janji dengan seseorang dan harus segera pergi. Ia merogoh saku celananya sebelum meninggalkan bilik dan menyerahkan uang, tanpa menghitung jumlahnya, kepada perempuan itu.
Ratmini masih di luar ketika Seto melangkah melintasi ambang pintu. Perempuan itu duduk di teras, seperti sengaja menunggunya keluar. Kepadanya Seto mengulangi ucapan yang disampaikannya kepada perempuan yang tadi hendak memijatnya bahwa ia ada janji dan harus buru-buru pergi.
’’Siapa kau sebenarnya?” tanya Ratmini.