Jawa Pos

Sastrawan yang Perupa

In Memoriam Danarto (1941–2018)

- Oleh MUHIDIN M. DAHLAN Muhidin M. Dahlan, pendiri @radiobuku dan @warungarsi­p. Tinggal di Jogjakarta

’’Saya menulis sastra seperti saya melukis’’ DANARTO

Danarto yang wafat pada Selasa, 10 April 2018, di Jakarta adalah mata Jibril kesusastra­an Indonesia. Atau, pinjam istilah pengamat sastra Indonesia asal Australia, Harry Aveling, Danarto adalah mata kanan dalam dunia prosa yang mana Pramoedya Ananta Toer adalah mata kirinya.

Walau tak terlalu produktif melahirkan buku, Danarto memang lebih dikenal publik sebagai sastrawan. Terutama penulis cerita. Empat bukunya

–Godlob, Adam Makrifat, Setangkai

Melati di Sayap Jibril, dan Orang Jawa Naik Haji– antara lain mengerek nama Danarto sebagai penulis papan atas.

Namun, persinggun­gan spiritualn­ya terhadap Jibril jualah yang membikin karya-karyanya menjadi magis. Termasuk ketika Jibril menjadi isu sosial pada awal milenium dengan kemunculan nabi baru di ibu kota, yakni Bunda Lia Eden. Di sana, nama Danarto terkena radar sebagai salah satu yang dekat dengan jamaah Salamullah yang kemudian atas nama keamanan negara dan ketertiban sosial dibumihang­uskan. Lia Eden dibui, sementara kesehatan Danarto mulai menurun dengan memakai pacu jantung.

Dari peristiwa ini, nama Danarto mulai redup. Se redup pos isinya sebagai seorang peru padi awal-awal kari r k r e ati v i tas nya di tahun terakhir dekade ’50-an.

Setahun setelah masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia-Akademi Seni Rupa Indonesia (STSRI-ASRI) Jurusan Lukis di Jogjakarta, Danarto turut bergabung dalam kereta besar bernama Sanggarbam­bu. Ini adalah komunitas seni rupa nonnegara dengan usia terpanjang sampai saat ini. Lepas landas pada 1959 di bawah pimpinan Soenarto Sp. dan masih berdenyut hingga kini. Kredo mereka bikin bulu kuduk merinding: ’’tetap hidup hingga hayat anggota terakhir’.’

Serupa Sanggarbam­bu, seperti itu pula riwayat Danarto. Sanggarbam­bu adalah organ seni rupa nonpolitis yang membuatnya berbeda dengan Bumi Tarung yang berada dalam lingkar Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Seperti namanya yang mengambil frasa ’’bambu’,’ sanggar ini luwes dalam menghadapi angin politik. Ia menari dan bergoyang bersama arus zaman. Tak mudah tumbang karena ia adaptif atas gelombang zaman.

Danarto itu manusia yang luwes. Tak keras, tapi juga tak lembek. Tahu bahwa biaya melukis mahal dengan menggunaka­n bah anyang standar, Dana r t otak kehabisan akal .’’ Kepunyaan saya cuma bolpoin dan kertas. Bahan itu saja saya pakai untuk melukis,’’ ujar Danarto.

Dengan pena dan kertas, Danarto berselanca­r dalam gelombang kreativita­s Sanggarbam­bu yang dihidupkan oleh lintas disiplin kreativita­s. Betul, Sanggarbam­bu didominasi perupa- perupa dari Akademi Seni Rupa (ASRI) Jogjakarta, namun mereka menerima anggota-anggota dari musik, sastra, tari, drama, dan film. Kita kemudian tahu, tatkala menggelar pameran dari kota ke kota, Sanggarbam­bu punya opsi pertunjuka­n yang kaya. Berbagai disiplin kreativita­s itu saling mengisi dan memengaruh­i satu dengan lainnya.

’’Perkerabat­an kreatif,’’ tulis esais seni rupa asal Bandung, Sanento Yuliman (1990), menggambar­kan medan kreativita­s di Sanggarbam­bu. ’’Memasukkan seni dalam kehidupan. Saling mendekatka­n,’’ kata eksponen Sanggarbam­bu, W.S. Rendra (1962).

Bacalah daftar dan komposisi sejumlah nama penggerak dan simpatisan Sanggarbam­bu berikut ini yang menunjukka­n bagaimana ’’perkerabat­an kreatif ’’ untuk ’’memasukkan seni dalam kehidupan’’: Soesilomur­ti, Suyono Palal, F.X. Soetopo, Lesmaniari­ta, Fadli Rasyid, Yayuk W., B. Soelarto, Bagong Kussudiard­ja, Irsam, Chadio, Warsito Sukarno, Riyadi A.S., Yussi Sukardi, Arief Sudarsono, Mulyati, S. Soemeru, Supono Pr., Untung Basuki, Sudarmaji, Muryotohar­toyo, Adi Kurdi, Sardjningt­yas, Sambodja, Lastri Farani Sukarton, Endang Aryati, Soemadji, Isnaeni Mh., Hadyono, Syahwil, Mulyadi W., Danarto, W.S. Rendra, Indros B.S., Gatot Sudrajat, Siti Adiati, Genthong Hariono Seloali, Soenarto Mohamad, Helga Korda, Dadang Christanto, Eddie Hara, Nasirun, Halim H.D., Restu Agus Salim, Linus Suryadi A.G., Butet Kartaredja­sa, Emha Ainun Nadjib, Putu Wijaya, Maruli Sitompul, Totok Buchori, Erick Purnomo, dan Slamet Riyanto.

Sebagai sebuah rumah besar kreativita­s, tak mengherank­an jika anggota Sanggarbam­bu umumnya memiliki lebih dari satu bidang kemampuan. Pahamlah kita mengapa nama Danar-

to yang secara akademik dididik dalam seni rupa, namun namanya menjulang dalam kesusastra­an dengan kecenderun­gan gaya yang lebih subtil: magis.

Tentu saja Danarto akrab dengan pameran seni rupa, sebagaiman­a Sanggarbam­bu yang dibuka dengan berpameran eksposisi sekaligus tiga pekan secara berturut-turut di Gendingan No 119 Jogjakarta, yakni Eksposisi Senirupa (1–14 April 1959), Eksposisi

Topeng-Topeng Modern (18 April–2

Mei 1959), dan Eksposisi KeramikKer­amik Modern (6–20 Mei 1959). Sanggarbam­bu terbiasa dengan melakukan penjelajah­an medan seni seperti di pekan-pekan awal kemunculan­nya. Kecenderun­gan itulah yang kita saksikan saat ledakan Gerakan Seni Rupa Baru pada medio 1970-an di mana eksponen penggerakn­ya dari Jogjakarta merupakan anggota Sanggarbam­bu, yakni Muryoto Hartoyo, Bonyong Munni Ardhi, F.X. Harsono, Siti Adiati, Nanik Mirna, dan Ris Purwono.

Begitu pula Danarto. Sosoknyala­h yang menjadi arsitek pameran konseptual ’’Kanvas Kosong’’ (1973) dan ’’Puisi Konkret’’ (1978). Pameran kanvas kosong di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan menghampar­kan kanvas putih belaka adalah pameran yang tergolong nyeleneh pada masanya. Jika dalam kitab suci kita kenal istilah cahaya di atas cahaya, pada Danarto kita disuguhkan konsepsi putih di atas putih.

Sementara itu, pada puisi konkret, puisi visual, Danarto yang pernah menjadi redaktur cerita dan puisi di majalah Zaman mendekati puisi dengan garis dan warna. Sebagaiman­a karya sastra Danarto yang tak lazim, misalnya pada 1968 cerpen berkisah hujan dengan judul ’’aneh’’ –bukan terbuat dari kata, tapi sebuah sketsa hati berdarah tertusuk panah– seperti itulah Danarto menghidupk­an garisgaris rupanya.

Pada garis-garis yang tak biasa itulah wayang rupa Danarto dipuji Seno Gumira Ajidarma. Sejak era majalah sastra

Horison di tahun awal, kita menemukan garis-garis sketsa Danarto. Namun, pada tema wayang, garis Danarto itu terlihat tak biasa. Sebut saja, terobosan wayang rupa Danarto adalah eksperimen untuk melengkapi jejak wayang di hadapan para perupa, seperti Wayang Ukur (wayang ukur), Wayang Kancil (Ki Ledjar Subroto), Wayang Alih (Lumadi Waluyo), Wayang Kontempore­r (Heri Dono dan Nasirun).

Hamparan wayang sketsa Danarto bisa kita temukan di rubrik cerita majalah

Zaman di awal tahun ’80-an. Bergantiga­nti penulis mengisi rubrik cerita wayang itu, antara lain Seno Gumira Ajidarma, Karsono H. Saputro, dan D. Djajakusum­a. Namun, hanya satu yang bikin gambar, yakni Danarto. Wayang yang ditampilka­n Danarto yang kemudian membuat Seno Gumira Ajidarma kepincut adalah wayang dengan gambaran gagah, namun deformatif.

Lihatlah visual wayang ketika raksasa Rahwana berjumpa dengan Nabi Adam serta Aswatama memegang badik. Atau, saat Arjuna memanah tanpa tali busur dan anak panah.

Karena ketakjuban seperti itulah, pada cerita Wisanggeni: Sang Buronan,

Seno Gumira memercayak­an garis wayang rupa Danarto sebagai tafsir visual independen, baik di sampul depan maupun di sekujur isi buku. Di buku itu, garis wayang Danarto tampil menakjubka­n. (*)

 ?? DANARTO FOR SENO GUMIRA AJIDARMA - DOK. MAJALAH ZAMAN ?? GORESAN KUAT: Almarhum Danarto dan ilustrasi Aswatama memegang badik di majalah Zaman.
DANARTO FOR SENO GUMIRA AJIDARMA - DOK. MAJALAH ZAMAN GORESAN KUAT: Almarhum Danarto dan ilustrasi Aswatama memegang badik di majalah Zaman.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia