Kisah Cinta Abadi Warisan Gabo
Kisah Florentino Ariza dan Fermina Daza dalam novel ini salah satu kisah cinta paling gila dalam sejarah sastra modern. Gabo terilhami kisah cinta orang tuanya.
GABRIEL Garcia Marquez (1928– 2014) alias Gabo adalah legenda. Dalam peta sastra dunia, Gabo dianggap sebagai salah satu pelopor aliran realisme magis dan empu sastra berbahasa Spanyol setelah Miguel de Cervantes, sang penulis novel klasik Don Quixote. Karya-karya Gabo telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa di seluruh dunia, termasuk bahasa Indonesia.
April ini genap empat tahun pemenang hadiah Nobel Sastra 1982 itu menutup usia. Di Indonesia, itu ditandai dengan terbitnya terjemahan salah satu novel terbaiknya, Cinta di Tengah Wabah Kolera.
El amor en los tiempos del cólera terbit kali pertama pada 1985. Tiga tahun kemudian terjemahan bahasa Inggris novel itu terbit sebagai Love in the Time of Cholera. Novel ini mengisahkan sepasang kekasih masa kecil yang bertemu dan bercinta kembali di masa tua mereka, setelah suami si perempuan meninggal dunia.
Kisah cinta Florentino Ariza dan Fermina Daza dalam novel ini bisa dibilang sebagai salah satu kisah cinta paling gila dalam sejarah sastra modern. Florentino adalah penyair amatir dan petugas telegraf di Cartagena, Kolombia, yang jatuh cinta kepada Fermina, gadis cantik anak orang kaya dan terpandang yang sering dilihatnya lewat jendela rumahnya.
Florentino berusaha menyampaikan isi hatinya lewat surat-surat cinta yang puitis. Namun, hubungan mereka tak direstui ayah si gadis. Sang ayah lalu berusaha menjauhkan Fermina dari Florentino. Fermina yang sempat menolak cinta Florentino kemudian menikah dengan seorang dokter yang berjasa memerangi wabah kolera yang melanda Cartagena.
Fermina dan suaminya kemudian pindah ke Paris. Meninggalkan Florentino yang masih menyimpan cintanya kepada Fermina selama bertahun-tahun. Dia tak pernah menikah ataupun jatuh cinta kepada perempuan lain meski penderitaannya karena ditikam sepi akibat kehilangan Fermina dilampiaskannya dengan meniduri ratusan perempuan: gadis, janda, istri orang.
Suatu hari Fermina dan suaminya kembali ke Cartagena. Namun, dia telah melupakan Florentino. Sementara itu, Florentino yang telah menjadi lelaki kaya dan sukses tetap tak bisa melupakan cinta abadinya kepada sang pujaan hati. Waktu berlalu hingga tersiar kabar kematian suami Fermina akibat terjatuh saat mengejar burung nuri kesayangan yang terbang ke sebuah pohon mangga.
Akhirnya, setelah lebih dari lima puluh satu tahun menanti, Florentino bisa bersatu dengan Fermina. Sebuah kisah cinta yang tak pernah mati dari seorang lelaki kepada kekasih hatinya.
Kisah hidup Gabo sendiri tak kalah mengesankan. Lelaki yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Meksiko dan wilayah Eropa itu sejak kecil mengalami berbagai kenyataan hidup yang getir sekaligus fantastis. Gabriel Jose Garcia Marquez –demikian nama lengkapnya– dilahirkan pada 6 Maret 1928 di Aracataca, sebuah kota kecil di pedalaman Kolombia, Amerika Selatan. Ayah dua anak lelaki itu melewati masa kanakkanak tanpa kedua orang tua.
Ayah Gabo, Gabriel Eligio Garcia, adalah seorang pencinta ulung dan mahasiswa kedokteran yang putus kuliah karena miskin. Dia kemudian bekerja sebagai operator telegraf –seperti karakter Florentino Ariza. Lelaki itu jatuh cinta kepada anak gadis seorang kolonel yang jelita, Luisa Santiago Marquez. Dirayunya gadis itu dengan permainan biola, sajak-sajak cinta rahasia, dan pesan-pesan telegraf.
Sepotong kisah cinta orang tuanya itulah yang mengilhami Gabo menulis kisah cinta Florentino Ariza dan Fermina Daza dalam novel Cinta di Tengah Wabah Kolera. Sebuah kisah cinta yang juga diwarnai kritik sosial dan sorotan tajam terhadap sejarah sebuah negeri yang penuh gejolak.
Pada 1982, Gabo meraih hadiah Nobel Sastra, penghargaan sastra paling bergengsi di dunia. Dalam siaran pers resminya, panitia Nobel menyatakan bahwa hadiah itu diberikan atas capaian kreatif Gabo melalui ”novel-novel dan cerpencerpennya, di mana kisah-kisah fantastis dan realistis berbaur dalam sebuah dunia imajinasi yang kaya, yang mencerminkan kehidupan dan konflik sebuah anak benua”.
Sebuah pujian yang tak berlebihan. Sepanjang hayat hingga kematian merenggutnya, dia terus berupaya membongkar sejarah panjang negerinya dalam novel-novelnya yang indah, penuh imajinasi fantastis, sekaligus brutal dan terkadang sungguh gilagilaan. Sebentuk sikap yang tampaknya berakar dari pengalaman masa kecilnya yang getir dan traumatis.(*)