Bangkit dengan Nama Beda, Kini Produksi Tiap Bulan
Jatuh Bangun Sisa Kertas, Penggiat Zine Kota Delta
Mereka sempat diremehkan. Perlahan, tetapi pasti mereka bisa merebut perhatian. Zine dianggap menarik karena bisa menampung kreativitas anak muda.
HASTI EDI SUDRAJAT
STUDIO musik di Jalan Jenggolo tampak ramai kemarin (14/4). Belasan anak muda berkumpul di teras. Berbincang santai. Sesekali diiringi canda tawa. ’’Ini semacam base camp kami,’’ kata Edrea Alfa Janitra. Dia merupakan salah seorang inisiator Sisa Kertas. Kumpulan anak muda yang belakangan giat membuat zine (singkatan dari fanzine atau magazine). Media cetak alternatif yang diproduksi secara masal dengan cara difotokopi. Mayoritas isinya berkaitan dengan kehidupan seharihari. Tentu dengan konsep khas remaja. Mulai bahasa hingga tampilannya.
Jauh sebelum menggagas komunitas
zine, Edrea merupakan bagian dari band indie. Black Rowk Dog namanya. Dia menjadi vokalis sekaligus gitaris. ’’Beraliran celtic punk,’’ kata pemuda 28 tahun tersebut. Edrea dan bandnya beberapa kali manggung ke luar daerah. Hingga akhirnya mereka sampai di Jogjakarta pada 2009. Di sana perkenalan kali pertama dengan zine dimulai. ’’Di belakang panggung ada yang nawarin. Isinya menarik. Gairah kreasi anak mudanya sangat terasa,’’ ungkapnya.
Zine yang dibaca saat itu tidak terlalu tebal. Halamannya hanya belasan. Namun, Edrea merasa bahwa isi yang ditawarkan sesuai dengan ide di kepalanya. ’’Istilah-istilah yang dipakai keren sekali,’’ ucapnya. Dia lantas membawanya pulang sebagai oleh-oleh. Nah, seiring berjalannya waktu, ide untuk membuat
zine sendiri terlintas. Edrea memaparkan keinginan itu kepada teman-temannya. ’’Butuh banyak orang karena sulit kalau sendirian,’’ tuturnya.
Zine yang apik, kata dia, seperti sebuah redaksi. Harus punya orangorang yang memiliki keahlian tersendiri. Mulai membuat esai, karikatur, sampai layout. Mencari teman yang sepaham tentu tidak mudah. ’’Baru dapat teman pada 2013,’’ paparnya.
Itu pun teman ngeband sendiri. Yaitu, Julian Sadam. Mahasiswa jurusan komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut mahir membuat desain. ’’Diracuni terus akhirnya mau gabung,’’ ucapnya. Langkah awal keduanya adalah membuat nama. Edrea dan Sadam lantas sepakat memilih Titik Koma. Filosofinya adalah zine
yang dibuat menjadi media kreativitas yang berkelanjutan. ’’Setelah koma kan
pasti ada lanjutannya. Tidak berhenti,’’ tutur warga Sidokare, Sidoarjo, itu.
Edrea kebagian membuat bacaan yang menarik.Misalnya,esaidanpuisi.Adapun Sadam membuat karikatur gambar dan me-layout. ’Biaya cetak sendiri. Semula pakai kertas glossy ukuran A5,’ paparnya.
Isi zine pertama mengulas band-band indie. Khususnya yang berasal dari Sidoarjo. Edrea juga menyelipkan keluh kesahnya terkait kehidupan sehari-hari. Mulai kemacetan, potensi wisata, sampai sulitnya mencari lapangan pekerjaan.
Zine dengan 20 halaman tersebut lantas dijual ke acara-acara band indie.
Harga per eksemplar Rp 2.500. Cukup terjangkau. Namun, respons di masyarakat kurang bagus. ’’Beberapa orang blak-blakan isinya tidak bagus. Dianggap memalukan. Idealisme anak muda hanya dihargai murah,’’ ujarnya. Edrea dan Sadam tentu merugi. Titik Koma pun sempat vakum.
Di luar dugaan, tawaran untuk kembali memproduksi zine didapat pada September 2017. Saat itu Rumah Kayu Pecantingan membuat Zine Festival. Mereka mengumpulkan penggiat zine dari sejumlah daerah. ’’Dari sana akhirnya punya semangat baru. Banyak belajar dari penggiat zine daerah lain agar konsepnya menarik pembaca,’’ ujarnya.
Semangat baru itu juga dituangkan ke dalam nama. Edrea dan temantemannya menanggalkan Titik Koma. Sebagai gantinya, mereka memakai nama Sisa Kertas. ’’Konsep semakin lama kian matang,’’ ucapnya.
Sejak Februari Sisa Kertas mulai berproduksi setiap bulan. Edrea dan kelompoknya menawarkan karya mereka ke sejumlah acara indie. Juga, di alun-alun saat akhir pekan. ’’Versi pdf-nya juga ada. Untuk pembeli dari luar daerah. Mereka tinggal pesan. Dikirim via e-mail,’’ katanya.