Jawa Pos

Ia tidak cukup bernyali untuk membuka diri. Mata perempuan itu seperti api yang layu.

- A.S. LAKSANA Sastrawan kelahiran Semarang, kini tinggal di Jakarta

bertarung dengan orang yang telah menanam budi baik kepadanya. Ripto berpihak kepadanya ketika terjadi kerusuhan kecil di ’’Kandang Wong”. Ia datang ke sarang yang baru saja kehilangan pemimpin dan mengarahka­n telunjukny­a ke Seto. ’’Ia yang memimpin tempat ini sekarang,” kata Ripto, ’’jika kalian tidak sepakat, hadapi aku.’’

Maka, dengan restu Ripto, Seto memimpin ’’Kandang Wong’’ menggantik­an Saroni, mengepalai para gali sampai tiba waktu semua lelaki di tempat itu diberantas oleh para penembak misterius. Hanya Seto yang selamat, berkat rias wajah yang dikerjakan oleh seorang juru rias film-film hantu yang pada suatu hari merasa bosan menjadi kru film dan memutuskan bergabung dengannya, dan pada sore itu, ketika ia sedang berjalan menuju Pasar Induk untuk membelikan pakaian buat si Cacing dan kedua anaknya, ingatannya tiba-tiba melayang ke ’’Kandang Wong”, tempat yang sudah empat tahun ia tinggalkan.

Ia datang ke sana pada Kamis sore dalam rias wajah yang menjadikan­nya orang asing di mata Ratmini. Pintu seperti hendak lepas saat dibuka dan engselnya berderit seperti hewan mengerang kesakitan. Ratmini tidak banyak berubah kecuali ia tampak sedikit tua dan kurang mengurus diri dan kedua kelopak matanya menceritak­an tahun-tahun terberat yang harus ia lalui. Sampai hari itu, ia tengah menjalani penantian yang tak jelas kapan akan berakhir. Ia menunggu Seto dan percaya bahwa lelaki itu akan datang menjemputn­ya, sebab sebelum pergi Seto mengatakan: ’’Bertahanla­h di tempat ini, nanti aku datang lagi.’’

Ratmini mematuhi pesan itu. Ketika para lelaki penghuni ’’Kandang Wong” dibunuh satu demi satu, ia tetap percaya bahwa Seto masih hidup. Ia yakin Seto memiliki cara untuk menghindar­i kematianny­a. Dan ia benar.

’’Tempat ini seperti dihuni hantu-hantu,” kata Seto. ’’Semua lelaki sudah mati, kecuali satu orang,” kata Ratmini.

’’Siapa?” tanya Seto.

’’Kau tak perlu tahu,” kata Ratmini. ’’Lagipula tak ada perlunya kukatakan kepadamu.”

’’Aku pernah kemari lima atau enam tahun lalu,” kata Seto. ’’Kalau tidak salah tempat ini dulunya panti pijat.’’

’’Ya,” kata Ratmini.

’’Seingatku aku dipijat oleh Darti atau siapa, aku tidak terlalu ingat namanya. Aku juga pernah bercakap-cakap dengan Seto. Kurasa ia pemilik panti pijat ini.”

’’Kau siapa sebenarnya?’’ Apa bisa kutitipkan kepadamu?’’ ’’Berapa utangmu kepada Seto?’’ ’’Satu juta.’’ Ratmini memperhati­kan lelaki yang ada di depannya. Ia merasa orang ini aneh, tetapi matanya bisa dipercaya dan ia merasa agak mengenal mata itu: hampir seperti mata Seto. Perempuan itu nyaris berteriak ketika menyadari bahwa ia mengenal mata orang yang berdiri di depannya --mata yang menutup rapat-rapat ketika melihat ia menanggalk­an kainnya satu demi satu hingga tubuhnya telanjang dan tetap tidak mau membuka sampai ia mengenakan kembali pakaiannya.

’’Aku seperti mengenal matamu,’’ kata perempuan itu.

Seto memandangi tanah, menghindar­i bertatapan mata dengan perempuan itu. Ratmini tidak tahu bahwa ia sudah menikahi si Cacing. ’’Kenapa kau tetap tinggal di tempat ini?” tanya Seto. ’’Aku sudah berjanji tak akan meninggalk­an tempat ini,’’ kata Ratmini.

’’Kau menunggu seseorang?’’ tanya Seto. Ratmini tidak mau menjawab. Sore itu ia mengenakan kaus usang yang umurnya sudah lima tahun. Seto mengenali kaus itu. Itu kaus pemberiann­ya, yang ia beli pada hari Minggu ketika berjalan-jalan ke Pasar Induk. Kau bisa mengatakan bahwa itu hanya kebetulan: Seto datang untuk menemui Ratmini dan perempuan itu mengenakan kaus pemberiann­ya. Tetapi aku yakin tak ada yang benar-benar kebetulan di bawah langit ini. Mungkin saja ada dorongan tempat ini atau tidak. Yang jelas aku tak akan datang lagi. Jika Seto tidak datang kemari, uang ini menjadi milikmu. Kau berhak menggunaka­nnya untuk apa saja.’’

Ratmini mengangkat mukanya, mengamati lelaki tak dikenal yang berdiri di depannya. ’’Siapa kau sebenarnya?” tanyanya.

Seorang perempuan lain muncul dan bercakap sebentar dengan Ratmini. Seto kenal dengan perempuan ini; ia salah satu dari empat pelacur tepi sungai yang dibawanya ke ’’Kandang Wong’’ dan diberinya pekerjaan baru sebagai pemijat. Rupanya ia juga masih bertahan.

’’Kalian masih memijat?’’ tanya Seto. Ratmini menggeleng.

’’Aku sebetulnya ingin dipijat,’’ kata Seto, ’’kalian masih mau memijat?”

Ratmini tidak menjawab. Perempuan di sebelah Ratmini mengangguk­kan kepalanya ragu-ragu sambil memandang ke arah Ratmini. ’’Lakukanlah jika kau mau,” kata Ratmini. ’’Ayolah,” kata perempuan itu.

Seto mengikuti perempuan itu, memasuki bilik pijat yang keadaannya sudah mengenaska­n. Hidungnya mencium bau langu ketika ia memasuki bilik tersebut.

’’Jika kalian sudah tidak memijat lagi, bagaimana kalian mendapatka­n uang?” tanya Seto. ’’Ratmini berjualan di pasar,” jawab perempuan itu. ’’Yang lainnya?”

’’Tinggal tiga orang di tempat ini.’’

’’Kau juga berdagang di pasar?’’ Perempuan itu mengatakan bahwa ia kembali

’’Teman Seto,” kata Seto. ’’Oya, boleh kutanyakan satu hal padamu?’’

Ratmini mengangkat dagu, menatap lawan bicaranya.

’’Apakah kau mencintai Seto?” tanya Seto. ’’Bukan urusanmu,” kata Ratmini. ’’Hanya rasa cinta yang membuat orang sanggup bertahun-tahun menunggu,” kata Seto. ’’Aku merasakan hal yang sama denganmu.’’

Hari sudah mulai gelap ketika Seto meninggalk­an tempat itu, meninggalk­an perempuan yang bertahun-tahun menunggu kedatangan­nya dan mungkin masih akan menungguny­a sampai bertahun-tahun nanti. Ia menyayangi Ratmini, tetapi tidak mungkin meladeni rasa cinta perempuan itu. Kalau saja di dalam hatinya tidak ada gadis Pekalongan, dan jika perkakasny­a masih utuh, ia tentu akan menerima perempuan itu dengan senang hati. Setidaknya, ia tak akan menyia-nyiakan kesetiaan perempuan itu.

Kini bahkan untuk berterus terang kepada Ratmini bahwa ia adalah Seto, ia tidak berani melakukann­ya. Tidak sanggup ia melukai perempuan itu dengan menceritak­an bahwa ia terpaksa menikahi si Cacing atas permintaan Ripto.

Sepanjang jalan menuju Purwodadi, ia merasa selalu ingin kembali ke ’’Kandang Wong’’. ***

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia