Pelaku Pidana Kena Hukuman Dobel
Tuguraci, Desa tanpa Asap Rokok yang Terapkan Sanksi Adat
Ajaran agama membuat 90 persen warga Tuguraci menghindari rokok. Di Tuguraci pula, sanksi adat diterapkan beriringan dengan hukum negara.
DESA Tuguraci terletak di Kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Maluku Utara. Awalnya, penduduk desa yang didominasi Suku Loloda itu berdiam di pesisir Kota Sofifi. Banjir besar memaksa mereka pindah ke dataran yang lebih tinggi.
”Hijrahnya sekitar 1950-an, dibawa leluhur yang namanya Pangau,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa Tuguraci Yusuf Kawuti kepada Malut Pos (Jawa Pos Group) pekan lalu. Nama Tuguraci, yang berarti emas dalam bahasa Loloda, merujuk pada kondisi lokasi sekitar desa yang mengandung emas. Selain Loloda, desa berpenduduk 517 jiwa itu dihuni orang dari suku Makian dan Sangir.
Salah satu keunikan desa tersebut adalah ketiadaan asap rokok. Setiap hari, bisa dipastikan tidak ada warga yang mengisap rokok sekalipun secara sembunyisembunyi di kawasan desa tersebut. Masyarakatnya pun tak ragu untuk menyebut udara di desanya bersih.
Ketiadaan asap rokok tak terlepas dari ajaran Gereja Kalvari Pentakosta Missi, Gereja Masehi Injili Halmahera, dan Pekabaran Injil. Selain rokok, minuman keras dilarang. Hal-hal yang dipandang hanya membawa kerugian bagi diri sendiri dan orang lain dilarang gereja.
Desa juga menerapkan sanksi adat untuk menghukum mereka yang melanggar norma dan ketentuan yang telah ditetapkan. Sanksi tersebut berupa pembayaran denda yang nanti masuk ke gereja. Denda bisa sampai Rp 3 juta, bergantung tingkat kesalahan. ”Yang tergolong berat itu, misalnya, mencuri, mabuk, kawin tanpa izin, atau selingkuh. Dendanya bisa sampai Rp 3 juta,’’ tutur Ketua Adat Junius Bermula.
Dia menjelaskan, hukum adat di Tuguraci berlaku sejak puluhan tahun lalu. Meski begitu, hukum negara berjalan beriringan. ”Jadi, sebelum dibawa ke ranah hukum negara atau hukum pidana, disanksi dulu secara adat,” papar Junius.
Itu berarti, warga yang melanggar hukum di Tuguraci akan mendapat hukuman dobel. Yakni, sanksi adat dan hukum pidana. ”Jadi, bukan kita tidak bersentuhan atau kebal dengan hukum dan perundang-undang_an negara yang mengikat. Sanksi adat dan proses hukum pidana itu berjalan bersamaan,’’ tambah tokoh agama Yosias Kontrake.
Adanya hukuman dobel itu terbukti menurunkan tingkat penyakit masyarakat (pekat). Plt Kades Yusuf Kawuti menuturkan, selama dirinya menjabat, belum pernah ada insiden yang membuat warga dihukum adat. ”Sebenarnya ada sejumlah pemuda dan remaja yang masih merokok. Tapi, itu dilakukan mereka di luar desa. Itu pun akibat pergaulan saja,” ungkapnya.
Kekerabatan di Tuguraci juga telah menembus batas keyakinan. Warga muslim yang merupakan minoritas di sana hidup damai berdampingan dengan mayoritas Nasrani. ”Kekerabatan ini dibangun di atas kebersamaan. Jadi, meski beda keyakinan, kami bisa hidup berdampingan dan saling menghormati perbedaan itu,’’ tandas Yusuf.