Libur Terlalu Lama Perlambat Investasi
Konsumsi Belum Tentu Terdongkrak
JAKARTA – Libur Lebaran yang lebih lama diproyeksikan berdampak negatif bagi perekonomian. Bukan hanya soal konsumsi, masalah investasi dan kelangsungan dunia usaha juga bakal ikut terpengaruh.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef ) Bhima Yudhistira menyatakan, libur Lebaran yang totalnya mencapai 12 hari nonstop bakal menghambat aliran investasi dan konsumsi. Berdasar surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, pemerintah menambah libur tiga hari, yaitu 11, 12, dan 20 Juni. Sebagian masyarakat juga bisa jadi libur sejak 9 Juni karena tanggal tersebut adalah Sabtu. Tadinya libur Lebaran hanya berlaku 13–19 Juni.
Dari sisi konsumsi, libur Lebaran yang panjang sebenarnya bisa meningkatkan belanja konsumen. Bhima menilai, tujuan pemerintah menambah libur Lebaran cukup positif. Selain mengantisipasi kemacetan pada waktu yang bersamaan, masyarakat punya waktu yang lebih banyak untuk belanja dan liburan.
Namun, ekspektasi kenaikan konsumsi itu bisa jadi tidak tercapai jika masyarakat malah menghabiskan waktu liburan di rumah saja. ”Sebenarnya, kalau orang bekerja ke kantor atau truk-truk mengantarkan barang ke luar kota, perputaran uang kadang malah lebih banyak terjadi. Penambahan libur ini kalau saya lihat hanya upaya pemerataan ekonomi dan perputaran uang, dari yang pusatnya di kota menyebar hingga ke desa,” tutur Bhima.
Pengaruh perlambatan investasi juga bakal terasa di pasar modal. Dengan libur Lebaran sejak 9 hingga 20 Juni, bursa efek akan libur delapan hari. Hal tersebut memengaruhi aliran dana yang masuk ke pasar modal serta pendapatan bursa dari fee transaksi. ”Dari sisi investor, ya merasa rugi karena uangnya mengendap. Lama enggak berputar,” ujar Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio.