Latar Belakang Beragam, Selaras dengan Pesan dari Pertunjukan
Cerita di Balik Drama Musikal Para Narapidana di TIM
Ratusan napi yang terlibat dalam drama musikal berasal dari penjuru Indonesia dan dipilih melalui seleksi ketat. Mereka berlatih keras dua pekan, dari pagi sampai malam. Hasilnya, pertunjukan yang mengundang banyak pujian.
SAHRUL YUNIZAR, Jakarta
PERSIS setelah Satu Nusa Satu Bangsa selesai dinyanyikan, tepuk tangan langsung bergemuruh. Lama sekali.
”Saya belum pernah lihat drama musikal sebagus ini,” ungkap Jaya Suprana, budayawan, pengusaha, sekaligus pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri), yang turut hadir menyaksikan.
Jaya tak berlebihan. Teater Besar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada Senin malam (23/4) memang menjadi saksi totalitas semua yang terlibat dalam pertunjukan. Tiap peran dimainkan tanpa terlihat canggung, gerak dan suara tertata rapi, dengan alur cerita yang penuh kejutan.
Padahal, 152 orang yang berada di panggung malam itu tak punya latar belakang akting. Sesuai judul pertunjukan, Merah Putih Narapidana, Kami Berkarya Maka Kami Ada, mereka adalah narapidana yang berasal dari puluhan lembaga pemasyarakatan di tanah air
Drama musikal itu bagian dari perhelatan Indonesian Prison Art Festival (IPAFest) 2018 yang diadakan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kemenkum HAM. Total, ada 461 napi yang dilibatkan.
Selain drama, ada, di antaranya, pameran lukisan, kolaborasi musik, dan penampilan tari para napi. Sepanjang sejarah republik, itulah ajang pertama yang melibatkan ratusan napi di ruang terbuka publik.
Khusus yang terlibat dalam drama musikal, mereka digembleng selama dua pekan. Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II-A Salemba. Di bawah asuhan sejumlah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta yang ditunjuk Ditjen Pas.
”Latihannya berat sekali,” kata Hambali, salah seorang narapidana yang terlibat, di geladi resik sehari sebelum pertunjukan.
Meski berat, Hambali termasuk beruntung karena terpilih. Sebab, yang berminat untuk berpartisipasi banyak sekali.
Ditjen Pas menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya, napi sudah menjalani setengah masa hukuman. Selain itu, napi kasus korupsi dan napi terorisme dilarang ikut.
Seleksi dilakukan berlapis. Dari lapas masing-masing. Lalu berlanjut di Salemba.
Tidak ubahnya proses casting, mereka harus memenuhi kriteria. Napi dari lapas di luar Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang akhirnya terpilih diinapkan di sel-sel di Salemba. Sedangkan yang berasal dari Jabodetabek dikembalikan ke lapas masing-masing selepas latihan.
Tentu saja pengawalannya juga ketat. Seperti disaksikan Jawa Pos saat geladi resik, di setiap pintu, baik pintu samping, belakang, masuk teater, maupun lift, ada petugas kemanan. Bahkan di dalam lift.
Minimal dua petugas di setiap posisi. Para napi juga bisa langsung dikenali lewat tanda khusus yang berupa gelang kuning semipermanen yang melekat erat di pergelangan tangan.
Karena itu, setiap orang yang tidak dikenali pasti ditanyai petugas. Untung, Jawa Pos didampingi seorang petugas dari Ditjen Pas. Sehingga tidak begitu repot saat hendak mengakses setiap ruang ganti.
Tiap istirahat latihan, para napi juga langsung diarahkan ke ruang ganti masing-masing. Lalu, mereka didata ulang oleh para pendamping. Rasionya, 1 pendamping tiap 2 napi.
Para aktor dadakan itu berlatih keras. Dari pagi sampai malam hari. ”Ini otot saya sampai jadi gini,” kata Hambali, terpidana kasus narkotika, sembari memamerkan kedua lengan.
Penghuni Lapas Cipinang tersebut bertugas membawa ogoh-ogoh. Dalam pertunjukan, ogoh-ogoh itu jadi simbol penghancur Bhinneka Tunggal Ika.
Otomatis, Bidom –sapaan akrab Hambali– harus menggendong ogoh-ogoh itu selama latihan. ”Dari pagi sampai malam,” ujarnya.
Secara garis besar, Merah Putih Narapidana, Kami Berkarya Maka Kami Ada bertutur tentang kegelisahan para napi selama menjalani hukuman. Juga, cerita asa dan impian mereka saat bebas nanti.
Meski terkurung dalam penjara, mereka juga menyuarakan kegelisahan akan kondisi masyarakat belakangan. Yang mudah terbelah. Juga, Bhinneka Tunggal Ika yang mereka nilai lebih sering jadi semboyan ketimbang kenyataan.
Yang membuat penonton betah bertahan, sejak adegan pertama sampai akhir penuh dengan kejutan. Itulah yang membuat sorak dan tawa bergantian terdengar. Juga tepuk tangan, tentu saja. ”Merinding rasanya,” kata salah seorang penonton yang duduk di belakang Jawa Pos di sela pertunjukan.
Latihan serius tak hanya dilakoni mereka yang ikut drama. Asep Kusnadi juga melakukannya. Napi berusia 49 tahun yang saat ini menghuni Lapas Kelas III Bekasi atau Lapas Cikarang itu tergabung dalam grup orkes keroncong yang bernama Lacika.
Lacika berisi para napi dari Lapas Cikarang. Mereka tampil beberapa menit sebelum drama musikal dimainkan. Di antaranya, membawakan Kau Selalu di Hatiku yang sejatinya dipersembahkan untuk Menko Polhukam Wiranto. ”Katanya, itu lagu favorit Pak Wiranto,” ucap Asep dengan logat Sunda yang cukup kental.
Kemarin Wiranto memang tidak menyaksikan secara langsung drama musikal bersama Menkum HAM Yasonna Laoly dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise. Tapi, dia sempat membuka secara resmi IPAFest 2018.
Selain lagu khusus untuk Wiranto, Lacika juga menyiapkan aransemen beda untuk lagu kesukaan Yasonna, My Way milik Frank Sinatra.
Meski proses latihan hingga pertunjukan melelahkan, Bidom maupun Asep samasama mengaku sangat menikmatinya. Apalagi, mereka berkesempatan bertemu dengan napi dari lapas-lapas lain.
”Senang bisa nambah teman,” kata Bidom, yang divonis lima tahun penjara.
Ratusan napi yang terlibat dalam festival, menurut Yasonna, memang berasal dari latar belakang yang beragam. Itu selaras dengan pesan pertunjukan tentang pentingnya merawat kebinekaan.
”Sangat baik untuk merawat kebinekaan, merawat NKRI,” ungkap Yasonna setelah pertunjukan.
Mereka yang kebagian musik di drama musikal, misalnya, berasal dari Sumatera Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Kalimantan Timur. Saat tampil, mereka mengenakan busana daerah masing-masing.
Ni Putu Yantiani, napi perempuan yang terlibat pertunjukan tari luar ruangan, yakin festival seperti itu bisa berdampak positif panjang. Sebab, masyarakat jadi bisa melihat bahwa para napi juga bisa berkarya. ”Ini bisa jadi penyemangat bagi kami saat bebas nanti,” kata perempuan 41 tahun itu.
Bahkan, apresiasi tersebut sudah langsung terlihat begitu pertunjukan selesai. Satu Nusa Satu Bangsa yang dinyanyikan serempak oleh mereka yang berada di panggung dan bangku penonton adalah buktinya. Aplaus panjang sesudahnya adalah bukti lain.
”Masih nggak percaya bisa sebagus ini,” kata salah seorang penonton saat bersiap meninggalkan Teater Besar TIM.