Difabel Berpolitik, dari Eksploitasi ke Kualitas
TAHUN politik 2018 dan 2019 semestinya menjadi pintu optimisme menuju perubahan yang lebih baik. Tiga perhelatan politik terbesar, yaitu pilkada, pemilihan legislatif (pileg), dan pemilihan presiden (pilpres), akan digelar secara berturut-turut. Jadwal pemilihan yang beruntun bakal memengaruhi hari-hari kita. Tak terkecuali warga penyandang disabilitas (difabel).
Secara statistik, warga negara difabel makin berperan aktif dalam kontestasi politik ini. Setidaknya terbaca dari statistik KPU. Dalam Pilgub DKI 2017 yang baru lalu, KPU setempat menyebut difabel yang terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) 10.228 orang, meningkat hampir dua kali lipat daripada 5.371 orang pada 2014.
Secara nasional lebih membesarkan hati lagi. KPU mencatat partisipasi penyandang disabilitas dalam pilkada serentak 2017 jauh di atas jumlah yang tercatat dalam DPT, melejit 257,7 persen.
Data sistem informasi perhitungan KPU menyebut ada 50.108 pemilih disabilitas dalam DPT. Namun, saat pemungutan suara, jumlah penyandang disabilitas yang datang lebih dari 129 ribu orang.
’’Rata-rata (partisipasi disabilitas) di tingkat provinsi 205 persen, kota 99 persen, dan kabupaten 296 persen. Rata-ratanya partisipasi mereka 257,7 persen,’’ kata komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah (24/2).
Kenaikan tajam terjadi di Aceh. Pemilih disabilitas di provinsi ini melonjak hingga 968,2 persen lebih dari DPT. Dari 2.842 pemilih disabilitas yang tercatat di DPT, saat pemilihan ternyata ada 27.516 orang yang menggunakan hak pilihnya.
Perlu ditunjukkan juga bahwa kelompok difabel bukanlah sematamata menjadi objek kampanye yang senang menerima sembako. Difabel mampu menjadi subjek dalam pemilu, termasuk menjadi kandidat dan penyelenggara. Akan tetapi, di saat-saat seperti ini, khususnya mereka yang mengalami disabilitas berat, berada di bawah intaian eksploitasi pihak-pihak yang berusaha untuk mendulang suara.
Menjadikan kelompok masyarakat yang mengalami disabilitas sebagai objek kampanye sudah menjadi rahasia umum. Baik parpol maupun individu acap kali melakukan pendekatan belas kasihan (charity) pada kelompok ini sebagai upaya pencitraan peduli terhadap kaum marginal. Sayangnya, ini jadi jalan pintas sementara untuk keluar dari kondisi ekonomi yang sulit. Hal ini tidak sepenuhnya salah, namun harus segera diubah. Eksploitasi terhadap difabel hanya akan berhenti apabila mereka bisa menunjukkan kredibilitas dan integritasnya.
Ketika diundang untuk kampanye, usahakan terlebih dahulu mengetahui format acara tersebut. Apakah ada waktu khusus yang diberikan untuk berdialog dengan si calon? Atau kampanye hanya terjadi satu arah dan lebih banyak porsi hiburannya dan hura-hura. Kesempatan berdialog tidak hanya digunakan untuk menyampaikan keluh kesah semata, namun untuk menunjukkan kualitas kita yang mampu mengidentifikasi permasalahan, lengkap dengan solusinya.
Tunjukkan bahwa yang dibutuhkan difabel adalah sikap inklusif, baik di tempat ibadah, sekolah, fasilitas umum, dan dunia kerja. Ajak menjauhi sikap belas kasihan semata, kikis sikap diskriminatif, serta meremehkan kemampuan difabel dalam bekerja. Kaum difabel jangan dilihat disabilitasnya, tetapi dilihat kemampuannya. Ajakan ’’ayo inklusif’’ perlu digelorakan justru di saat momenmomen politik penting seperti ini. Karena keputusan politiklah yang akan membawa perubahan signifikan, seperti pembuatan peraturan/ undang-undang yang lebih ramah difabel. Dan kaum difabel perlu lebih cermat dengan aturan-aturan yang menyulitkan kaum difabel menjadi kandidat politik, seperti peraturan KPU yang memandang disabilitas dari sudut medis (semacam gangguan yang harus disembuhkan dulu). Berkat protes kaum difabel, peraturan ini dibatalkan.
Dalam hal keterlibatan secara intensif dengan salah satu calon juga merupakan cara yang jitu dalam berkontribusi, meskipun sekali lagi, perlu dihindari eksploitasi. Akan tetapi, apabila keterlibatan kita dalam tim sukses atau sejenisnya diiringi dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas, kontribusi akan lebih banyak diberikan kepada si calon. Keberadaan perwakilan yang memiliki disabilitas dalam tim tidak hanya menjadi simbol belaka.
Warga difabel tak perlu antipartai. Pilihan menjadi kader partai bisa jadi jalan agar individu dengan disabilitas bisa menjadi bagian dari eksekutif dan legislatif. Namun, kembali harus dapat menilai dan menelaah, apakah partai tersebut punya nilainilai inklusi yang diemban. Apakah partai tersebut spesifik punya program kerja yang berkaitan dengan penghargaan dan penerapan hak-hak warga yang mengalami disabilitas? Dan yang lebih penting lagi, sebagai kader partai yang memiliki disabilitas, apakah suaranya didengar di dalam partainya sendiri sehingga terjadi asimilasi permasalahan
Sejauh ini yang sudah lumayan berhasil adalah upaya pembangunan tempat pemungutan suara (TPS) yang aksesibel. Misalnya dengan memastikan TPS dibangun di bidang yang datar, tanpa ada hambatan seperti selokan, rumput yang tinggi atau tanah yang becek. Memastikan ukuran bilik suara agar dapat digunakan oleh orang yang menggunakan kursi roda. Serta memastikan keberadaan template sebagai alat bantu agar tunanetra dapat secara mandiri melakukan pencoblosan. Yang juga perlu dikampanyekan adalah memastikan proses penghitungan suara yang juga aksesibel.
Kaum difabel wajib berkontribusi dengan kualitas yang makin meyakinkan demi mewarnai demokrasi dengan taburan nilai-nilai inklusivitas yang penuh perikemanusiaan. *) Tunanetra, aktivis, master dari Flinders University, Australia