Ketua Kelompok Ternak Divonis 4 Tahun Penjara
Kasus Sapi Bantuan Pemprov
SIDOARJO - Majelis hakim yang diketuai Rochmad memvonis Sururun empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Sidoarjo, kemarin (26/4). Ketua kelompok ternak Al-Baqor Trenggalek tersebut terbukti melanggar pasal 12 ayat 1 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP.
Vonis itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan penjara. Hakim Rochmad dalam putusan yang dibacakannya menyatakan, yang menjadi alasan memberatkan adalah terdakwa telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai ketua kelompok ternak untuk korupsi.
Korupsi yang dilakukan terdakwa ialah menjual sapi-sapi bantuan dari Pemprov Jawa Timur. Perbuatannya telah merugikan negara sampai Rp 169 juta.
Sampai kini, kerugian negara tersebut belum diganti dan itulah yang juga menjadi salah satu alasan memberatkan hakim dalam menjatuhkan vonis. Pada 2014 lalu, Sururun membentuk kelompok ternak Al-Baqor di Desa Parakan, Trenggalek, untuk mendapatkan dana hibah dari Pemprov Jatim.
Pelaku kemudian mendapatkan bantuan 20 ekor indukan sapi untuk dibudidayakan. Namun, bukannya merawat, terdakwa justru menjual sepuluh sapi bantuan tersebut.
Sementara itu, sepuluh ekor lain diberikan kepada lima orang yang bukan anggota kelompok sebagai upah mencari rumput dan tim sukses terdakwa semasa mencalonkan sebagai anggota legislatif. Belakangan diketahui kelompok Al-Baqor yang didirikan Sururun tersebut fiktif.
Kelompok itu dalam proposal beranggota 15 orang yang ternyata juga fiktif. Nama-nama tersebut dicatutnya sebagai pelengkap persyaratan pengajuan proposal.
M. Tribusono, kuasa hukum Sururun, menganggap vonis itu terlampau berat. Menurut dia, dari kerugian negara Rp 169 juta tersebut, sebagian sebenarnya digunakan untuk pakan dan pengadaan alat biogas yang kini masih ada.
Dia juga mempertanyakan perhitungan jaksa mengenai nilai penjualan sapi Rp 9,8 juta per ekor. Padahal, menurut dia, kliennya hanya menjual sapi Rp 5,2 juta per ekor. ’’Selisih itulah yang juga menjadi keberatan kami. Sekarang kami masih pikir-pikir apakah akan banding atau tidak,’’ ujarnya.
Jaksa Parmanto juga mengaku masih pikir-pikir. Dia belum memikirkan akan mengajukan banding atau tidak meskipun vonis majelis hakim lebih ringan daripada tuntutannya.