Pekerja Asing dan Perjanjian Utang
HARI May Day 2018 diwarnai kado buruk kepada buruh Indonesia. Masalah outsourcing belum selesai serta pengupahan dan jaminan kerja bagi buruh belum aman, mendadak Presiden merilis Perpres No 20/2018 tentang penggunaan tenaga kerja asing (TKA) pada 29 Maret 2018.
Pada 2016, jumlah TKA asal Tiongkok di Indonesia sekitar 21.271 orang dan kini bertambah menjadi 24.804 orang. Bukan hanya TKA dari Tiongkok. Saat ini juga sudah ada TKA dari Jepang (12.490 orang), Korsel (8.424), India (5.059), dan Malaysia (4.138), dan dari negara lain (7.684. Dengan demikian, total TKA di Indonesia sedikitnya 74.183 orang. Jumlah TKA pada 2017 sebelum diberlakukannya Perpres No 20/2018 bahkan sudah melejit mencapai 126.000 orang.
Masifnya penetrasi TKA berbarengan dengan pelaksanaan proyekproyek infrastruktur tentu saja memprihatinkan di tengah persoalan peningkatan pengangguran di Indonesia. Jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2016 berdasar BPS mencapai 7,03 juta atau 5,61 persen dan bertambah 10.000 orang pada Agustus tahun lalu menjadi 7,04 juta.
Dampak Utang? Melemahnya persyaratan perizinan TKA di Indonesia memang agak mengherankan di tengah perkembangan bahwa AS justru menerapkan sistem ekonomi terproteksi. Bahkan, dalam Perpres No 20/2018 tentang penggunaan TKA, perizinan dibuat mudah dan singkat. Permenaker No 16/2015 tentang tata cara penggunaan TKA juga sudah menghilangkan syarat mampu berbahasa Indonesia bagi calon TKA.
Melihat banyaknya diskresi kepada kebijakan TKA, hampir tidak terbantahkan bahwa Indonesia dalam posisi tersudut antara desakan meliberalisasi pasar tenaga kerja dan upaya mendapatkan pendanaan dalam rangka menjalankan politik infrastruktur.
Tampak nyata keterkaitan antara meledaknya jumlah utang luar negeri akhir-akhir ini dan TKA. Sudah mahfum bahwa pembiayaan mayoritas maproyek infrastruktur Indonesia adalah dana utangan dari luar negeri. Sangat muskil apabila negara kreditor pemberi pinjaman tidak menyertakan persyaratan dalam dokumen kontrak perjanjian utang, termasuk di dalamnya mengenai TKA atau subjek yang lain.
Utang dari Tiongkok sebetulnya bukan cerita baru. Pada pertengahan 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno mendapat pinjaman dari Negari Panda itu USD 40 miliar atau sekitar Rp 520 triliun melalui Tiongkok Development Bank dan Industrial and Commercial Bank of Tiongkok (ICBC). Pinjaman yang sebelumnya disebut bantuan pendanaan itu sudah digunakan untuk modal pembiayaan proyek infrastruktur.
Selanjutnya, uang tersebut disebarkan ke BUMN yang menggarap proyek infrastruktur. Bagaimana bentuk sharing benefit antara pemerintah RI diwakili menteri BUMN dan pemerintah Tiongkok tidak dijelaskan dengan pasti.
Lampu Merah
Persoalan utang adalah bom waktu yang tinggal menunggu ledakannya. Masalah TKA adalah indikasi awal sebelum nanti dampak yang berat seperti dalam jeratan rentenir benar-benar terjadi. Kenaikan utang antara tahun 2014 sampai dengan Februari 2018 pada jumlah spektakuler 54,66 persen. Total utang 2014 sebesar Rp 2.608,78 triliun, per akhir Februari 2018 sudah menyentuh Rp 4.034,8 triliun. Pro- yeksi total utang yang akan dibebankan ke rakyat Indonesia hingga akhir 2018 adalah Rp 4.772 triliun.
Bentuk-bentuk utang pun kini makin bervariasi dan tentu saja akan berimplikasi beragam tidak hanya persoalan sempit yakni TKA. Pada 1 Desember lalu rilis utang baru pemerintah dalam bentuk global bond USD 3,5 miliar.
Model pengerahan utang dalam bentuk global bond juga dilakukan PLN baru-baru ini. BUMN ini segera akan menerbitkan global bond akhir April dan awal Mei 2018 senilai USD 1 miliar dengan tenor 10 tahun. Road show sudah dilakukan ke AS, Hongkong, dan Singapura. Jasa Marga akhir 2017 juga menerbitkan sertifikat utang disebut dengan Komodo Bond dalam jangka 3 tahun senilai USD 295,7 juta atau Rp 4 triliun di Bursa Efek London. Wika juga melakukan langkah serupa dengan menerbitkan Komodo Bond Rp 5,4 triliun.
Tidak heran, masifnya pencarian utang menyebabkan rasio utang Indonesia terhadap PDB 2017 sebesar 29,2 persen, atau naik jika dibandingkan dengan pada 2016 sebesar 27,5 persen.
Khusus utang baru BUMN dari Tiongkok Rp 520 triliun yang diupayakan menteri BUMN tentu tidak kalah serius dampaknya terhadap postur BUMN Indonesia. Utang BUMN sebetulnya dalam kategori lampu merah. Sejak November 2014, nilai utang BUMN mencapai total Rp 6.135,5 triliun. Angka tersebut segera melampaui nilai ekstrinsik dan instrinsik total aset BUMN Indonesia. Perkiraan nilai aset BUMN saat ini Rp 7.212 triliun.
Utang kategori jumbo itu yakni dari Pertamina (USD 1.500 juta), PGN (USD 1.350 juta), Pelindo II dan III (USD 1.500 juta), BRI (USD 350 juta), LPEI (USD 788,5 juta), dan PLN (Rp 450 triliun). Hitungan terbaru untuk PLN, utangnya sudah membengkak menjadi Rp 462,6 triliun, terdiri atas Rp 88,3 triliun jangka pendek dan Rp 374,3 triliun utang jangka panjang. Berikutnya, terbaru pada 2018 adalah utang Jasa Marga dan Wika.
Utang Pertamina sebetulnya USD 8,68 miliar dan sudah naik 21,15 persen. Sementara itu, Garuda mempunyai utang jangka panjang USD 578,1 juta atau Rp 6,93 triliun. Utang jangka panjang yang jatuh tempo tahun ini tersebut adalah USD 255,64 juta. Utang BUMN yang jatuh tempo adalah 20 persen dari total surat utang di Indonesia, baik pemerintah dan swasta, yakni Rp 38,7 triliun.
Jika sekarang jumlah TKA asal Tiongkok meningkat serius, tinggal dibuka saja kontrak perjanjian utang. Jangan berteriak karena tidak membaca kontrak. Itu terjadi karena negara ini suka berutang.