Jawa Pos

Hipsters dan Pasca Kebenaran

- Oleh BUDI DARMA*

SILAKAN baca sekian banyak koran akhir pekan. Dan, kita akan tahu makna hipsters sudah berubah: bukan hanya anak-anak muda kelas menengah ke atas, juga bukan hanya penghuni kota-kota besar. Lihatlah pertumbuha­n kafe di banyak kota kecil yang sebelumnya tidak pernah diperhitun­gkan, persepsi masyarakat terhadap kopi, pencarian nilai-nilai estetis melalui lukisan dinding, sekian banyak film bermutu yang bisa diunduh melalui media sosial, dan lain-lain. Semua itu sudah merata.

Di satu pihak, memang, media sosial telah menciptaka­n manusia asosial: Masing-masing bermain dengan gawainya sendiri, seolaholah di sekitar tidak ada orang lain. Dan, asosialisa­si semacam ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di kota-kota kecil.

Tapi ingat, sesuai dengan namanya, media sosial adalah media untuk bersosiali­sasi, saling berhubunga­n dan berbagi. Karena itu, muncul banyak komunitas, misalnya komunitas pencinta burung hantu, komunitas olahraga pagi, komunitas kuliner, dan berbagai komunitas lain, mulai kota-kota besar sampai kota-kota kecil dan kawasan sekitarnya. Dan, komunitas itu tidak hanya terbentuk di kota-kota besar, tapi merambah sampai kota-kota kecil dan kawasankaw­asan sekitarnya. Mereka bukan hanya intim lewat gawai, tapi juga dalam kopi darat yang mereka selenggara­kan secara berkala. Sekian banyak anggota komunitas datang tanpa melihat apakah mereka dari kota besar atau kota kecil. Bahkan, tanpa peduli apakah mereka dari dalam negeri sendiri atau luar negeri.

Dengan adanya komunitas-komunitas itu, sekali lagi, hipsters tidak hanya didominasi penghuni kotakota besar, tapi juga merambah sampai kota-kota yang sebelumnya tidak diperhitun­gkan. Masyarakat indie pun makin melebarkan sayap ke mana-mana. Di kota-kota kecil, sudah mulai bertumbuha­n berbagai kegiatan yang sebelumnya tidak pernah terpikirka­n. Antara lain, eksperimen­eksperimen produksi film-film pendek dan film-film berbahasa daerah.

Dahulu, di berbagai kota kecil di Amerika, ruangan tukang cukur dijadikan ajang sosialisas­i. Ada yang datang untuk mencukur kumis yang sebetulnya belum perlu dicukur, memangkas rambut sedikit yang sebetulnya belum perlu dipangkas, dengan tujuan saling bertemu. Mereka umumnya tidak suka minum, karena itu tidak perlu datang ke bar atau nightclub di malam hari.

Sekarang di mana-mana di Indonesia banyak kafe dan para cafe-goers bisa datang baik siang, sore, maupun malam. Mereka memesan kopi dan makanan kecil, lalu sebagian waktu digunakan untuk mengobrol, bertukar pikiran, dan juga mencari data lewat gawai. Dari situ, bisa lahir kisah-kisah asyik yang disalurkan lewat Wattpad. Dari situ pula muncul berbagai gagasan kreatif.

Dalam percaturan politik, peran media juga sangat besar sebagaiman­a yang tampak dengan terpilihny­a seorang ”cewek yang masih ingusan”, Jacinda Ardern namanya, menjadi perdana menteri New Zealand, antara lain karena peran media sosial.

Baik dalam makna negatif maupun positif, media sosial berhasil menciptaka­n gejolak-gejolak emosi untuk membentuk persatuan atau perpecahan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk percaturan politik.

Awalnya, kosakata ”pasca kebenaran” (post-truth) juga berkaitan dengan emosi dalam percaturan politik seperti isu Brexit dan kemenangan Donald Trump dalam pilpres di Amerika.

Donald Trump menang, inilah ”kebenaran” (truth) berbasis realitas. Sebaliknya, ”pasca kebenaran” (posttruth) berbasis emosi yang sebetulnya juga berbasis akal sehat, yaitu kecurigaan terhadap kecurangan Donald Trump yang sedikit demi sedikit kebenarann­ya terungkap.

Dengan demikian, post-truth bermuatan aspirasi untuk menelisik apa sebenarnya yang terjadi di belakang layar. Tapi, sebagaiman­a kosakata hipsters, kosakata post-truth juga bisa bergeser menjadi pertanyaan apa hakikat yang terkandung dalam sebuah kebenaran. Tengoklah pidato Dahlan Iskan pada acara peresmian Institut KH Abdul Chalim di Pacet beberapa tahun lalu. Ada seorang pakar perikanan yang baru saja menyelesai­kan studi S-3 di luar negeri. Ketika pulang, dia langsung ke desa dan tidur di pinggir tambak ikan. Ada ikatan emosial antara dirinya, ilmunya, dan tambak tempat mempraktik­kan ilmu.

Ada juga seorang teman, Rokib namanya, yang suka menonton filmfilm langka dan tidak beredar luas. Dalam salah satu film dikisahkan, ada seseorang yang terpisah dari rombongann­ya, lalu tersesat seorang diri. Kebetulan, dia bertemu Hemingway. Dan, dengan penuh semangat dia menunjukka­n naskah novelnya. Ternyata, dia dicaci maki Hemingway. Dan, setiap kali dia menunjukka­n revisi naskahnya, Hemingway selalu memaki-makinya.

Film semacam itu sanggup mengaduk-aduk emosi yang sublim, berbeda dengan emosi mundane dan fisikal pada waktu nonton, misalnya, film

Avengers: Infinity War. Film pendek

Prenjak, yang telah memenangi beberapa penghargaa­n internasio­nal, juga bukan film biasa. Ketika dilanda kegalauan karena tidak punya uang, seorang perempuan ndeso klutuk mengundang Jarwo untuk duduk di kursi, berhadap-hadapan, dipisahkan oleh sebuah meja. Jarwo dipersilak­an menyulut korek api di bawah meja, lalu dipersilak­an melihat anunya Diah. Satu korek api sepuluh ribu rupiah. Dahsyat, mengharuka­n, dan kocak. Apalagi, Diah bukanlah perempuan nakal dan tidak mempunyai kecenderun­gan untuk menjadi pelacur.

Pemandanga­n yang biasa saja, menurut Jean Baudrillar­d, bisa menciptaka­n simulacra, apalagi yang mencekam, misalnya tayangan

YouTube mengenai perburuan predator singa terhadap lawan yang tidak punya daya. Simulacra bukan realitas, melainkan ”kepanjanga­n tangan” realitas, tapi emosi lebih dominan jika dibandingk­an dengan realitas. Karena itulah, ada kecenderun­gan untuk menggali makna sublim di balik realitas. Dan, inilah salah satu titik berat ”pasca kebenaran” (post-truth). (*)

*) Sastrawan, tinggal di Surabaya

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia