Jawa Pos

Kian Mabuk Politik

-

RUANG publik kita kian kencang digaduhkan oleh aneka adonan politik. Kelompok yang ingin ganti presiden dan tidak ingin ganti presiden sudah bergesekan di Jakarta. Lengkap dengan dramatisas­i dan ”playing victim”.

Acara-acara pembagian sembako yang dicurigai bernuansa politik juga makin jadi sorotan. Termasuk yang dilakukan Presiden Joko Widodo. Saling sindir, saling cerca, dan saling ”mendunguka­n” kian riuh saja. Perbincang­an politik menjadi seperti pemabuk candu yang kian lama kian menuntut dosis lebih tinggi.

Sementara itu, kondisi ekonomi perlu kewaspadaa­n. Rupiah kian tertekan, nyaris Rp 14.000 per dolar AS. Isu utang luar negeri dan impor tentu kian tak nyaman. Belum lagi kabar santernya serbuan tenaga kerja asing (TKA) kasar di tengah penganggur­an rakyat sendiri. Sedihnya, tak banyak kabar optimistis kelas ”wow” yang bisa mengimbang­i isu-isu negatif.

Sejak sebelum Pilpres 2014 hingga kini, kegaduhan terasa berkesinam­bungan. Hari ini, May Day, tentu juga terjadi kegaduhan ”resmi” ketika beribu buruh berdemo di mana-mana. Dengan aneka tuntutan. Seharusnya, bukan ribuan polisi saja yang siaga mengantisi­pasi. DPR semestinya siaga memasang telinga: mendengar apa yang diinginkan para pendemo.

Kegaduhan semacam ini boleh jadi karena saluran-saluran resmi aspirasi sudah lama tak sanggup menangkap kehendak orang ramai. DPR, yang begitu asyik membicarak­an hak-haknya sendiri, terasa mejan ketika ada aspirasi rakyat yang butuh saluran.

Apakah terdengar bagaimana DPR secara kelembagaa­n membicarak­an dengan serius banjir TKA? Atau penegakan hukum yang dinilai pilih kasih? Atau tumpahan minyak di Kaltim? Atau kelaparan di Papua? Atau mahalnya hargaharga? Atau memburukny­a nilai rupiah? Atau utang luar negeri yang terus bertambah? Atau bagaimana implementa­si Nawacita?

Tak heran, banyak yang kecanduan menggunjin­gkannya di jalanan dan medsos. Dari bangun sampai menjelang tidur. Wakil rakyat muncul dalam arus percakapan jalanan dan medsos pula. Padahal, semestinya DPR membicarak­annya secara kelembagaa­n yang menghasilk­an rekomendas­i pengawasan yang jelas.

Obat dari keterbelah­an ini sebenarnya ada pada sikap adil elemen negara. Kalau elemen negara sudah terkesan memihak, di situlah awal ketidakper­cayaan. Apalagi, ada gejalageja­la pilih kasih, bisa makin mempersuli­t situasi. Ini politickin­g sempit dan jangka pendek yang membahayak­an. Negara tak hanya perlu hadir, tapi hadir secara imparsial. Jangan ikut mabuk low politics. (*)

 ?? ILUSTRASI DAVID/JAWA POS ??
ILUSTRASI DAVID/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia