Spirit Kepemimpinan di Dunia Pendidikan
PENDIDIKAN memang salah satu isu pokok dalam pengembangan suatu bangsa. Itu terjadi karena peran yang dimainkannya sebagai ’’mesin’’ pencetak generasi pemimpin yang akan meneruskan perjalanan suatu bangsa. Dunia pendidikan adalah dunia yang amat kompleks, menantang, dan mulia.
Proses pendidikan diibaratkan sebagai seorang ibu yang sedang hamil, yang akan melahirkan generasi baru. Dalam kondisi yang normal, kelahiran sang bayi tidak saja membahagiakan, tapi juga sangat dinantikan. Namun, bila kondisi kesehatan fisik sang ibu mengkhawatirkan, psikisnya labil dan tertekan (karena kurangnya perhatian), serta asupan gizi tidak mencukupi, tentu berpengaruh kepada kesehatan dan kualitas sang bayi yang akan dilahirkan. Sangat mengkhawatirkan, akan lahir bayi yang ’’idiot’.’
Dalam konteks itulah, pentingnya membangun sistem pendidikan yang kuat. Kalau tidak, bisa jadi generasi yang dilahirkan oleh dunia pendidikan adalah generasi yang mengidap sindrom ’’socio idiot’’, yaitu generasi home-service yang tidak memiliki kemampuan untuk mandiri, yang tidak memiliki kepekaan-ketajaman sosial, dan asyik sendiri dengan dunianya.
Pembenahan dunia pendidikan harus dilakukan secara serius untuk menyongsong masa depan yang jauh lebih baik. Aspek kemandirian, kepemimpinan, dan kejujuran harus benar-benar diperhatikan, juga aspek-aspek kecerdasan dan hard skill lainnya. Hasil penelitian Charles J. Pellerin (2009) tentang karakter apa yang dikagumi dari seorang pimpinan menyebutkan, 80 persen responden menyatakan lebih mengagumi sikap jujur, 67 persen kemampuan kompetensi, 62 persen memiliki visioner, dan 58 persen inspirasional.
Redefinisi Pendidikan tanpa spirit kepemimpinan hanya akan melahirkan pemimpin (sarjana) yang terpidana. KPK mencatat 60 persen putra-putri terbaik bangsa yang terpilih menjadi pemimpin (pejabat dan birokrat) kini berurusan dengan penjara dan pidana. Tentu bukan karena bodoh atau miskin. Mereka pintar dan berkecukupan. Tetapi, mereka gagal dalam membangun kemandirian dan kepemimpinan.
Di tengah krisis moral kepemimpinan, saatnya kita perlu meredefinisi makna sukses di era milenial ini. Anak sukses bukanlah anak-anak yang hanya pintar secara akademik dengan segudang piala dan prestasi. Tetapi, anak sukses ditandai dengan kemandirian di usia dini (self leadership): mandiri finansial, mandiri sosial, dan mandiri spiritual.
Pada tataran konsep, semua pemangku kepentingan pendidikan setuju dengan definisi anak sukses, yaitu prestasi yang membanggakan dan pemimpin bagi orang bertaqwa. Buktinya, banyak sekolah favorit memilih tagline berbudi dan berprestasi, excellent with character, atau berprestasi dan berakhlak mulia. Tetapi, pada tataran praktik, banyak yang tidak konsisten melaksanakan itu.
Buktinya, banyak orang tua bertanya tentang nilai unas dan ranking anaknya di kelas dan jarang yang menanyakan kompetensi leadershipnya serta karakternya. Sekolah, mau tidak mau, mengikuti permintaan pasar, yaitu menggenjot prestasi akademik berupa danem dan akseptabilitas di sekolah lanjutan favorit atau universitas ternama.
Tidak sepenuhnya salah. Tetapi, orang tua jangan terkecoh. Sebab, ternyata kepintaran akademik kurang signifikan mengantarkan sukses seseorang. Riset Thomas J. Stanley PhD mencatat tentang seratus faktor yang paling berpengaruh terhadap sukses seorang anak. Sementara faktor terbesar 1–10 adalah tentang self leadership. Perinciannya : 1. jujur, 2. disiplin, 3. gaul (good interpersonal skill), 4. dukungan dari pasangan hidup, 5. bekerja lebih keras dari yang lain, 6. mencintai apa yang dikerjakan, 7. kepemimpinan yang baik dan kuat (good & strong leadership), 8. semangat dan berkepribadian kompetitif, 9. pengelolaan kehidupan yang baik (good life management), 10. kemampuan menjual gagasan dan produk.
Hal yang menarik ternyata kecerdasan intelektual (IQ) urutan ke-21, belajar di sekolah favorit menjadi faktor sukses ke-23, dan lulus terbaik (ranking tertinggi) menduduki faktor sukses urutan ke-30.
Sinergi Sekolah-Rumah Pembentukan karakter pemimpin mustahil dibebankan sepenuhnya kepada sekolah. Selain karena keterbatasan waktu, energi pendidikan di sekolah sudah habis untuk memenuhi tuntutan kurikulum yang terlalu banyak jenis mata pelajarannya dan sering berganti-ganti.
Karena itulah, diperlukan peran orang tua untuk terlibat aktif dalam membangun karakter kepemimpinan anak-anaknya, tidak lepas begitu saja. Orang tua sebagai penanggung jawab pendidikan tidak bisa lepas tangan, menyerahkan semuanya kepada sekolah, meski telah membayar mahal.
Kini model pendidikan educationmama dikembangkan lagi di Jepang dan negara-negara Yahudi, yaitu suatu model pendidikan profetik yang tetap bertumpu kepada keluarga dan peran ibu. Hasilnya terbukti sangat nyata, dua bangsa tersebut dikenal dengan kegeniusan dan kepintarannya, dalam memimpin dan menguasai ekonomi dunia.
Kita punya aset bonus demograpik dan masih bisa menemukan anak muda milenial yang hebat pada banyak bidang keilmuan. Mereka jelas tidak bisa dikelola (dipimpin) dengan cara-cara lama. Maka, pertama dan yang utama, bangun mental mereka, jadikan mereka pribadi yang tangguh. Jangan berfokus kepada hard skill mereka, seperti pengetahuan atau keahlian khusus pekerjaannya.
Bangunkanlah kesadaran (soft skill) bahwa mereka bukan follower, mereka calon leader. Generasi ini, kalau bisa mentalnya diputar, akan menjadi pribadi yang suka menghadapi tantangan. Karena itu, setelah diputar, berikan kepercayaan kepada mereka memimpin proyek-proyek penting yang bisa membuatnya belajar dan upgrade diri. Dengan begitu, mereka merasa siap berkontribusi terhadap kemakmuran negeri ini di masa depan. (*)