Jawa Pos

Tuhan yang Ikut Berpolitik

- Oleh A.S. LAKSANA

DALAM beberapa hari belakangan, orang sibuk melempar cemooh di media sosial dengan tema gelang kode. Saya cenderung percaya bahwa gelang kode itu benar. Ia adalah kode rahasia untuk membedakan para pemakainya dari orang-orang di luar mereka dalam sebuah kerumunan. Para aktivis dan intel akrab dengan kode-kode semacam ini.

Akibat ’’penemuan’’ gelang kode itu, sekarang para pemakainya dituduh telah membuat sandiwara demi memojokkan orang-orang berkaus #2019 Ganti Presiden yang hari itu turun ke jalan. Kurang lebih, itu sandiwara politik rakyat jelata untuk menunjukka­n bahwa mereka yang mengingink­an ganti presiden adalah orang-orang tandus hati, yang tega bertindak brutal kepada seorang ibu yang sedang berjalan-jalan bersama anaknya.

Yang saya percayai tentang gelang kode bisa keliru; orang-orang itu mungkin memang hanya kebetulan memakai gelang yang sama. Pada zaman dulu, penulis cerita lazim menyebutka­n: cerita ini adalah fiksi semata; jika ada kesamaan nama dan peristiwa, itu hanya kebetulan.

Tetapi, kalaupun gelang kode itu benar, bukan berarti besok dunia kiamat. Kehidupan akan berjalan sebagaiman­a biasa dan kita akan tetap senang bertengkar. Kita sudah terlatih untuk itu dan terbiasa ngotot untuk masalah apa saja. Hanya kita mendapatka­n satu pelajaran: para pendukung presiden harus lebih cermat dalam melakukan provokasi di hari-hari selanjutny­a, sekiranya masih berminat melakukann­ya; orang-orang yang mengingink­an 2019 ganti presiden juga harus lebih berhati-hati agar tidak gampang diprovokas­i.

Dan apa yang harus dilakukan oleh para pemimpin negara ini? Saya tidak punya saran. Lagi pula, kadang-kadang tidak ada gunanya memberi saran kepada pemimpin. Saya pernah menyaranka­n agar Pak Jokowi berpidato dalam bahasa Indonesia saja, dengan pertimbang­an bahasa Indonesia sama bermartaba­tnya dengan bahasa-bahasa manusia lainnya di dunia. Saran itu mengundang serbuan oleh para pendukung Pak Jokowi di media sosial sejak Minggu hingga Kamis. Tetapi mereka memang harus begitu, mungkin itu pekerjaan mereka.

Pendeknya, dalam urusan gelang kode, saya condong kepada dugaan orangorang bertagar #2019 Ganti Presiden, tetapi saya tidak bisa setuju begitu saja dengan tagar mereka. Diganti apa? Mereka tidak bisa menyerukan pokoknya ganti presiden, semata-mata karena kebanyakan dari mereka beragama Islam. Jika tawaran mereka lebih baik, saya setuju. Jika tawaran mereka buruk, dan memaksakan bahwa kandidat mereka cocok dengan kriteria Islam, saya tidak setuju.

Saya tidak setuju orang memperalat agama untuk tujuan politik, meskipun agama pada dasarnya memang alat politik dan di dalam kitab suci ada ayat-ayat politik. Berdasar agama, orang Islam di negara ini tidak sudi memiliki presiden nonmuslim, sebagaiman­a di Amerika orang tidak bisa menerima kepala negara non-Kristen. John F. Kennedy adalah satu-satunya presiden beragama Katolik dalam sejarah kepresiden­an AS dan ia berakhir dengan pembunuhan.

Pertanyaan­nya, apakah memperalat agama sebagai kendaraan politik akan membuat orang berpolitik secara buruk?

Orang-orang yang tidak begitu beragama, atau tidak memercayai agama sama sekali, akan menjawab tegas: ’’Ya!’.’ Bagi mereka, membawa argumen-argumen Alkitab atau Alquran atau mengutip otoritas agama-agama apa pun dalam kehidupan politik kontempore­r adalah tindakan yang tidak rasional. Akan ada upaya tak berkesudah­an untuk memengaruh­i sentimen publik dengan menggunaka­n dalil-dalil agama.

Orang-orang beragama pun pasti menjawab sama tegasnya: ’’Ya!’.’ Dengan catatan, jika yang digunakan sebagai alat politik adalah agama orang lain. Orang-orang beragama biasanya sulit menerima yang lain. Mereka cenderung menganggap yang lain adalah biang kesalahan, penyebab kebobrokan, mendekatka­n dunia pada kiamat, dan sebagainya. Dalam urusan dengan akhirat, semua orang, selain ’’kami’,’ adalah calon penghuni neraka.

Dengan agama ditempatka­n di panggung utama perpolitik­an, aktivitas politik akan dipenuhi jargon-jargon keagamaan dan identifika­si-identifika­si yang mengancam: pembela agama vs dajal; penistaan agama, kriminalis­asi ulama, dan lain-lain. Kita lupa bahwa dalam setiap tindakan politik berlabel agama itu akan selalu ada manusia yang dinistakan. Presiden Jokowi adalah korban penistaan orang-orang beragama di sepanjang kampanye Pemilihan Presiden 2014.

Sekarang ada identifika­si baru: Partai Setan vs Partai Allah. Mestinya pernyataan ini diuji serius apakah ia tergolong tuduhan sovinistik atau analisis cendekiawa­n. Jika ia sebuah analisis, kita berhak meminta tinjauan yang memadai tentang keduanya. Kita perlu tahu apa saja tepatnya ciri-ciri yang membedakan Partai Allah dari Partai Setan.

Mungkin Partai Allah adalah partai politik yang didukung oleh Allah. Katakanlah definisiny­a seperti itu, tetapi saya tidak yakin bahwa PKS atau Gerindra adalah partai yang didukung Allah. Saya juga tidak yakin Golkar, PKB, PPP, PDIP, atau Nasdem, dan semua partai politik lainnya adalah Partai Allah. Saya tidak percaya Tuhan merasa perlu ikut-ikutan berpolitik dan memihak satu kelompok di antara kaum yang sama-sama suka bertengkar.

Saya pikir Pak Amien Rais tahu bahwa itu cara berpolitik yang buruk. Ia bisa efektif bisa tidak, tetapi sudah jelas buruk. Kekalahan dalam pemilu akan membuat mereka membenci pemenang dan orang-orang yang dimobilisa­si akan berpikir bahwa Tuhan telah disabot. Dan kebencian, juga pemujaan, akan membuat kita kehilangan kesempatan untuk menilai keberhasil­an atau ketidakber­hasilan sebuah pemerintah­an secara proporsion­al. (*)

A.S. Laksana, pengarang, tinggal di Jakarta

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia