Buku dan Musik sebagai Ide
SAAT Kaka/Slank menjadi dirigen bagi ribuan Slankers dan pembaca buku yang mengepung panggung Mocosik di JEC Jogja pada malam ketiga pergelaran menyanyikan lagu Garuda Pancasila, kalimat ini muncul dari backdrop raksasa panggung: ’’Ilmu pengetahuan tidak mengajarkan kepastian, melainkan melatih akal budi untuk menyangsikan segala sesuatu, termasuk mempertanyakan iman. Segala sesuatu yang telah teruji lewat kesangsian demi kesangsian akan semakin kokoh.’’
Kalimat itu milik penulis, filsuf, dan astronom perempuan pertama Indonesia, Karlina Supelli. Seperti halnya seorang penulis yang terus melatih akal budi memburu hakikat dengan pertanyaan demi pertanyaan, Slank yang kita kenal saat ini sebagai raja panggung festival musik dengan basis pendukung dari kelas lumpen hingga kaum terpelajar kere adalah nomenklatur dari semesta ide dengan suara yang khas.
Slank adalah contoh sebuah komune yang tumbuh dalam kultur kreatif yang menyaratkan proses yang pelik dan panjang. Dalam proses lebih dari tiga dekade itu, bunga-puji tak membikin kelompok pejalan kreatif yang lahir di gang kecil Jakarta ini lupa diri. Pengabaian dan candu juga bukan variabel yang menjadikan mereka tumbang saat perburuan peak performance terus dilakukan hingga mentok pada batas kemampuan terakhir.
Mocosik sebagai sebuah festival yang mempertemukan kultur buku dan musik di panggung festival pop menampilkan ide sebagai penuntun dan jembatan temu. Para pembicara yang dihadirkan sepanggung dengan musik selama tiga hari, 20–22 April lalu, adalah mereka yang hidup dalam semesta ide dan bagaimana memperjuangkannya dengan menyerahkan semua yang dipunyainya.
Daya mereka serupa dengan pandangan penulis kawakan asal Mesir yang kata-katanya muncul terus-menerus di arena pameran dan panggung konser, bahwa ’’Hidup ini begitu keras. Manusia yang benar-benar hidup adalah mereka yang lebih keras daripada hidup itu sendiri.’’
Sapardi Djoko Damono dan Seno Gumira Ajidarma terus berkiprah dengan mengerahkan seluruh daya hayat untuk memburu kata-kata pemungkas. Ketekunan yang sama diikuti penyair Aan Mansyur yang berusia muda yang tumbuh dalam sebuah kabupaten nirpustaka.
Yovie Nuno/Kahitna yang tak pernah lelah sejak 1988 mencipta lagu, menghidu romantika zaman, dan tampil penuh kompetitif untuk tak lekang dari sorotan lampu panggung. Sawung Jabo/Sirkus Barock masih tegar berdiri dengan lirik protes seperti ’’Hio’’. Jabo seperti menandaskan gagasan kuat tak pernah kalis oleh kuasa dan usia jika terus diteriakkan di panggung-panggung terbuka.
Pada sineas Garin Nugroho kita temukan pertautan arus zaman dan tiga kultur yang berdialog intens dalam proses hayat kreatif: buku, film, dan musik. Ia lahir dari keluarga pencetak buku di Kota Jogja. Ia mengalami bagaimana tiga paragraf dari buku, misalnya, disusun selama tiga hari dari besi-besi huruf. Dari kerja cetak manual itu, Garin muda percaya bagaimana proses melahirkan jiwa peka. Jiwa yang peka adalah sahabat terbaik ide kreatif.
Dalam menggarap sinema, Garin disokong oleh buku-buku sastra dan musik. ’’Hampir saya pastikan, semua karya saya adalah buku dan musik,’’ tegas Garin Nugroho kepada jurnalis musik Adib Hidayat yang menjadi pemandu talk show
di hari kedua Mocosik. Puisi Tak Terkuburkan adalah contoh tak terbantah sebuah sinema yang menggabungkan cerita lisan, puisi, dan dendang.
Seperti tumbuhan, lanjut Garin, seperti itulah buku, musik, film kita tempatkan. Kita mesti tahu, pada media tanah apa sebatang tumbuhan ditanam. Ketika kita mengenal tanah, kita mesti paham cara menyiasatinya agar tanaman tumbuh seperti yang diinginkan. Manajemen daya usaha dan manajemen daya manusia adalah kemampuan mutlak menjadi pemanggul ide-ide kreatif di hadapan industri kreatif terkini.
Kecintaan pada Ide Analog/digital hanyalah pergeseran zaman lewat peranti teknologi. Manusia dan apa yang di kepalanyalah sebetulnya subjek pengendali apakah mereka maju sebagai sebuah karakter kuat atau mental yang melempem. Bagi kelompok musik asal Bandung yang terkenal dengan lagu ’’Kosong’’ (1997), Pure Saturday, membaca tak hanya memperkuat karakter, tapi juga memperkaya diksi musik. Hal itu diamini dengan irama nyaris presisi penyanyi bersuara aduhai, Rio Febrian: ’’Dari membaca kita mendapatkan diksi, kita memiliki referensi. Hal itu jelas memengaruhi musik saya.’’
Membaca, pinjam sekali lagi Pure Saturday yang tampil di hari pertama Mocosik, temukan diri di dalam dunia tak terkira.
’’Menemukan diri’’ itu yang menjadi proses keras yang dilakukan sastrawan Mahfud Ikhwan yang datang dari Lamongan untuk berproses di Jogjakarta.
Demikian pula sastrawan Edi A.H. Iyubenu, tak hanya bertemu dirinya pekerja buku yang lahir sebagai suku bangsa Madura, namun juga mengisi sekrup industri perbukuan di Jogjakarta. Apa yang dilakukan Edi itu sepenuhnya diikuti pemuda Irwan Bajang asal Lombok yang tumbuh dalam pergaulan dengan sepenuhnya disanggah elemen-elemen digital.
Bahkan, Iqbal Aji Daryono mengendarai kapal raksasa media sosial sebagai rima percakapan hariannya yang membuatnya menjadi ’’orang’’ dengan tetap menyelipkan sehelai kepercayaan bahwa buku adalah rumah yang baik bagi ide.
Dengan menjadikan tubuh sebagai bahasa yang tak pernah usai dieksplorasi, penulis serbabisa Afrizal Malna menjadi seorang pencari yang keras. Ia memburu ide dari segala benda dan menyelami tubuh-tubuh budaya, politik, ekonomi, sosial dalam kultur urban yang menurutnya
miring ke kanan.
’’Saya pindah dari Jakarta ke Jogja dianggap aneh oleh seorang teman saya. Mengapa pindah ke kota yang tak ada uangnya. Anehnya, risiko itu saya ambil,’’ aku Afrizal.
Mocosik yang disokong seratusan penerbit di panggung buku memberi tahu dengan segenap-genap keyakinan bahwa ide tak pernah bisa padam, walau tembok penghalang selalu muncul di tikungantikungan yang kerap tak terduga. Inilah zaman bergerak, kata sejarawan Takashi Shiraishi (1997). Inilah abad yang berlari, seru Afrizal Malna (1984).
Di zaman yang seperti itu kita mestilah hidup dengan siasat dan akal panjang. Mungkin perlu mengikuti petuah sinis Iwan Fals (1988), menjadi kancil ketimbang buaya. Sebab, kancil adalah binatang yang sangat sadar akan bahaya. Termasuk mengakali aparatus-aparatus anti-ide yang memegang kendali hak izin penyelenggaraan festival.
Saat negara dan birokrasinya terus-menerus memproduksi data yang meredupkan mental bahwa kita bangsa dengan kecakapan baca
nauzubillah brengseknya, Mocosik mendekatkan buku/ide kepada penonton musik. Sebab, pinjam kata-kata CEO Rajawali sekaligus inisiator Mocosik, penonton musik yang paling emoh atas buku sekalipun berhak mendapatkan jalan bersentuhan dengan bacaan dalam siasat budaya populer. (*)
Muhidin M. Dahlan, pendiri @radiobuku dan @warungarsip di Jogjakarta