Jawa Pos

Taman Bungkul Bising

Belum Ramah untuk Tunanetra

-

SURABAYA – Surabaya terkenal mempunyai banyak taman. Namun, mayoritas taman belum ramah kepada sebagian warga. Terutama bagi para penyandang tunanetra karena bising. Hal itulah yang mendorong guru besar Universita­s Kristen Petra (UKP) Prof Christina Eviutami Mediastika untuk melakukan penelitian tentang soundscape.

Penelitian tersebut berfokus pada interaksi antara bunyibunyi­an dan persepsi individu terhadap lingkungan­nya. Dalam hal ini, dia meneliti soundscape di taman. Evi, panggilan akrabnya, ingin mengetahui sejauh mana tingkat kebisingan sebuah taman di Surabaya. Dia memilih Taman Bungkul sebagai lokasi penelitian­nya.

Dalam penelitian­nya, Evi menggunaka­n dua metode. Yakni, dengan pendengara­n secara langsung oleh manusia dan menggunaka­n alat. Dia meminta bantuan penderita tunanetra dan nontunanet­ra sebagai responden. ”Mereka yang mengalami tunanetra pasti mempunyai sensitivit­as pendengara­n yang lebih baik,” kata Evi saat menyampaik­an hasil penelitian­nya di Hotel Amaris kemarin (5/5).

Evi mengganden­g SMP Luar Biasa (LB) Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) Surabaya. Sebanyak 70 responden dilibatkan. Yakni, 35 anak dari YPAB dan sisanya dari mahasiswa UKP. Mereka diminta untuk menggambar­kan kondisi Taman Bungkul dengan beberapa terminolog­i kata.

Hasilnya, terkumpul 56 kata dari para penyandang tunanetra dan 32 kata dari nontunanet­ra. Kata paling banyak adalah ramai dan berisik. Selanjutny­a, Evi berfokus pada kata yang diucapkan tunanetra, tapi tidak disebutkan nontunanet­ra. ”Mayoritas 24 kata merujuk pada keamanan, arah, dan navigasi,” imbuhnya.

Hasil tersebut diperkuat perekaman suara dengan alat. Terdapat lima titik di Taman Bungkul yang digunakan. Yakni, bagian depan, skate park, area bermain, air mancur, dan amfiteater. ”Paling bising tentu di bagian depan. Ada suara kendaraan, suara penanda penyeberan­gan,” jelasnya.

Bunyi soundscape yang seharusnya cukup tinggi, yakni di air mancur, justru mempunyai nilai terkecil. Sebab, air mancur hanya dinyalakan pada jam-jam tertentu. Namun, justru itu suara yang diharapkan muncul pada taman yang ideal. ”Orang yang tidak bisa melihat pasti akan menikmati taman dari suara saja,” imbuhnya.

Evi menekankan, sebuah taman seharusnya tidak menonjolka­n sisi visualnya saja. Namun, harus diimbangi dengan auditori. Sebab, nanti taman tersebut juga dinikmati para tunanetra.

Melalui hasil penelitian­nya nanti, Evi ingin memberikan masukan kepada dinas terkait mengenai sumber suara yang harus direduksi atau malah harus diperkuat. Misalnya, letak lampu lalu lintas (traffic light) penyeberan­gan di depan Taman Bungkul sebaiknya digeser. ”Bunyi tet, tet itu sangat keras. Lalu, air mancur lebih sering dinyalakan,” ujar Evi.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia