Banyak Advokat yang Menganggur
Minim Jaringan dan Kompetensi
SURABAYA – Setiap tahun Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Surabaya meluluskan sekitar 500 pengacara baru. Organisasi pengacara itu bisa sampai tiga kali menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) atau uji kompetensi untuk calon-calon pengacara.
Ketua DPC Peradi Surabaya Hariyanto menyatakan, Januari lalu saja, ada 155 anggota yang disumpah pengadilan tinggi (PT) untuk menjadi pengacara baru. Bulan ini, rencananya, 208 anggota dilantik sebagai pengacara.
Hariyanto menyebutkan salah satu faktor penyebab tingginya angka pengacara baru. Yakni, banyak calon pengacara yang lulus uji kompetensi. Tingkat kelulusan bisa mencapai 40–60 persen. Hal tersebut berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya. Yakni, tingkat kelulusan hanya 20 persen.
Sementara itu, dari hasil uji kompetensi, materi yang sering membuat calon pengacara gagal menjadi pengacara adalah pembuatan surat kuasa.
Nilai materi tersebut bahkan mencapai 60 persen. Sisanya adalah teori-teori keorganisasian dan etika profesi. ’’Sebab, kuasa dan gugatan itu akan menjadi makanan mereka sehari-hari. Mereka harus berhasil memahami itu,’’ ujar Hariyanto disela acara PKPA di Fakultas Hukum Unair.
Selainitu,diSurabaya,kiniada1.800
pengacara yang menjadianggotaPeradi.Itu belum termasuk yang bergabung dengan organisasi pengacara lain. Sebab, organisasi pengacara bukan hanyaPeradi.Karenaitu,tidakheran jikapersainganuntukmendapatkan klien semakin ketat.
Hariyanto tidak menampik bahwa di antara ribuan pengacara di Surabaya, banyak yang menganggur. Mereka tidak laku. Menurut dia, hal tersebut terjadi karena yang bersangkutan tidak memiliki jaringan. Selain itu, kemampuan yang dimiliki rendah. ’’Bisa jadi (tidak laku) karena jaringannya dan sumber daya manusianya. Kalau kali pertama menangani kasus saja sudah belepotan, tentu klien nggak akan percaya,’’ katanya.
Dia mengungkapkan, salah satu cara agar para pengacara laku adalah meningkatkan kompetensi. Pengacara, lanjut Hariyanto, harus memiliki spesialisasi perkara agar laku di pasaran. Misalnya, spesialisasi perkara perdata, pidana, dan niaga. ’’Kami arahkan untuk mengambil spesialisasi,’’ katanya.