RIVALITAS MIMESIS DUA KOTA
RIVALITAS paling sengit, sekaligus paling getir, biasanya melibatkan orang-orang dekat. Ingat kisah Qabil dan Habil? Dari kitab suci kita mengenal rivalitas, juga pertumpahan darah pertama di dunia, terjadi di antara saudara. Kisah-kisah rakyat tentang jatuh bangunnya kerajaan, asal usul suku dan desa, berawal dari perseteruan kerabat dekat
Di film dan novel silat, alur cerita digerakkan persaingan dua saudara seperguruan. Sehari-hari kita pun mendengar persaingan sengit antarsepupu ....
Dalam khazanah sepak bola, kita mengenal istilah derby (derbi), El Clasico, Der Klassiker, atau Match of Eternal Enemies. Perseteruan paling keras hampir selalu melibatkan tim yang lahir dan berasal dari kota, bahkan berbagi stadion, yang sama.
Sebagai provinsi sepak bola, Jawa Timur pun memiliki rivalitasnya sendiri. Hari ini Persebaya Surabaya dan Arema FC menyeret publik sepak bola ke dalam pusaran persaingan.
Seperti rivalitas klasik lain, kita tidak akan pernah menemukan cerita tunggal tentang bagaimana dan mengapa rivalitas itu terbentuk. Ada yang bilang insiden tawuran anak-anak muda Malang dan Surabaya di konser musik yang jadi pemicu.
Ada yang menyebut arogansi tokoh-tokoh sepak bola di salah satu dari dua kota itu sebagai biangnya. Satu versi menyebut ketidakseimbangan pemberitaan media massa. Versi lain mengaitkan rivalitas tersebut dengan perpindahan pelatih dan pemain.
Masing-masing punya pembenaran dan kebenarannya sendiri. Barangkali tak penting mencari mana yang lebih sahih. Yang pasti, rivalitas Persebaya dan Arema belum begitu lama. Rivalitas itu bahkan, pada awalnya, tidak bisa dikatakan sebagai derby. Persebaya dan Arema bukan ”saudara dalam sepak bola”. Persebaya lahir 60 tahun lebih tua daripada Arema. Kedua klub lahir dari rahim kompetisi yang berbeda dan tumbuh di masa yang berbeda pula. Yang satu di kompetisi Perserikatan, yang lain di era Galatama.
Keduanya punya sejarah rivalitas, meskipun barangkali tidak terlalu sengit, justru dengan klub lainnya. Di sepanjang dekade 1980-an kita mendengar permusuhan Persebaya vs Persema. Sementara di akhir 1980-an dan awal 1990-an kita menyaksikan persaingan Arema dengan NIAC Mitra.
Adanya rivalitas Persebaya vs Persema dan NIAC Mitra vs Arema sebelum Persebaya vs Arema menunjukkan sesuatu yang lain. Yakni persaingan yang lebih laten, lama dan besar: rivalitas dua kota dari subkultur yang sama. Rivalitas Persebaya vs Arema adalah manifestasi kontemporernya.
***** Surabaya dan Malang adalah dua kota yang menjadi anak kandung subkultur Jawa Timuran yang paling Jawa Timur. Dua kota tersebut tidak begitu terpengaruh budaya Madura dan Islam –seperti halnya kota-kota di kawasan Tapal Kuda. Keduanya juga nyaris tidak mendapatkan penetrasi budaya Mataram –seperti kotakota di bagian baratnya.
Dua kota itu lantas mengembangkan subkulturnya sendiri. Terletak di pesisir, Surabaya menjadi kota dagang dan industri manufaktur yang ramai. Sementara Malang, berada di pedalaman dan diberkahi keindahan alam, identik dengan kota wisata, pertanian, dan pendidikan.
Keduanya memiliki keunikan, dari bahasa sampai makanan. Surabaya menghasilkan ludruk; Malang menemukan bahasa walikan. Surabaya punya Basman dan Kartolo, sedangkan Malang bangga dengan Ian Antono. Surabaya menemukan rujak cingur dan lontong kupang. Malang menciptakan bakso dan angsle.
Dua kota itu juga mengembangkan versi Jawa yang lebih egaliter dan terbuka. Dikelilingi pabrik dan toko-toko, penduduk Surabaya identik dengan kelas pekerja yang dibekali tekad kuat, rasa setia kawan, dan keberanian. Sementara itu, dengan kesejukan iklimnya, orang Malang membanggakan daya kreativitas dalam usahanya.
Dua kota tersebut, pada dasarnya, juga dekat dan saling membutuhkan. Orang Surabaya butuh hasil bumi dan udara segar dari Malang. Orang Malang perlu barang pabrikan dan layanan finansial dari Surabaya.
Namun, gaya egaliter Jawa Timuran mendorong penduduk dua kota itu membawa dinamika saling bersaing dan membutuhkan itu pada batas terjauhnya. Klub sepak bola adalah salah satu tempat di mana warga Surabaya dan Malang bisa mengekspresikan persaingan tersebut. Dari sini kita bisa memahami asal muasal rivalitasnya.
Dekade 1990-an menandai susut dan bangkitnya klub-klub bekas era Galatama dan Perserikatan. Di Surabaya, NIAC Mitra dan Assyabab malih rupa. Dalam prosesnya, keduanya kehilangan kesaktiannya. Di Malang, Persema perlahan menjadi tim kedua dan tak seberapa lama hilang entah main di divisi berapa.
Di saat yang sama, Persebaya dengan dukungan loyal suporternya dan Arema dengan bekal prestasi di periode akhir Galatama menjadi wakil tanpa pesaing bagi Kota Surabaya dan Malang. Persebaya dan Arema menjadi simbol sekaligus wujud nyata hasrat dan aspirasi persaingan warga kedua kota untuk mendapatkan keotentikan Jawa Timur. Jika gerobak bakso dan warung lontong kupang tidak menjadi arena persaingan terbuka untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat antara Surabaya dan Malang, kompetisi sepak bola menyediakannya.
Lambang bajul berwarna ijo yang konsisten dari tahun ke tahun mewakili gaya Surabaya yang solider, nekat, dan tak takut berkonfrontasi. Gambar Singo Edan yang bervariasi menyimbolkan kera ngalam yang kreatif dan penuh kejutan. Keberanian Bonek mendatangi stadion lawan mewakili Surabaya sebagai kota yang penuh vitalitas, penuh harapan, dan dinamis. Sementara tari-tarian di stadion dan gambar singa di setiap sudut gang menggambarkan selera seni warga Malang.
*****
Sepak bola secara inheren mendorong insting perseteruan karena hanya menyediakan satu pemenang dalam sebuah kompetisi. Ia menjadi contoh konkret apa yang ahli teori sosial sebut sebagai rivalitas mimesis.
Konon, seseorang punya hasrat menggebu-gebu akan sesuatu, pertama-tama bukan ditentukan nilai atau kualitas sesuatu itu sendiri. Namun karena ada orang lain yang pada waktu bersamaan juga menginginkan sesuatu itu.
Orang Surabaya berpikir bahwa kotanya menjadi yang paling unik dan Persebaya menjadi klub sepak bola yang paling hebat. Mereka punya hasrat untuk mewujudkannya karena orang Malang mengklaim dan menginginkan hal yang sama. Begitu juga sebaliknya.
Dalam rivalitas ini, ruang dan waktu menjadi penting. Ketika berada dalam jarak dan waktu dekat, dua orang yang saling menginginkan hal yang sama tidak begitu merasakan dan mengenali bahwa mereka saling bersaing. Mereka menjadi rival dan saling meniru tindakan satu sama lain.
Ambil contoh pertengkaran anakanak sepantaran atau adik-kakak kandung yang umurnya berdekatan. Pertengkaran nyaris dimulai karena keduanya menginginkan balon atau layang-layang yang sama.
Dalam rivalitas ini, sering kali tidak penting seseorang mendapatkan apa yang diinginkannya. Yang lebih penting adalah si rival tak mendapatkannya. Anak-anak yang berebut layangan atau mobilmobilan sering kali memilih menyobek layang-layang dan melempar mobil itu ke comberan.
Ada potensi kekerasan dalam setiap rivalitas orang-orang dekat. Setelah layang-layang sobek, seorang kakak mungkin akan memukul adiknya. Seseorang akan melukai hati sahabat dan menyimpan dendam itu dalam hatinya untuk waktu yang lama.
Seperti halnya kisah Qabil dan Habil, rivalitas orang-orang dekat sulit didamaikan. Sebab, rivalitas tersebut lahir dari mimesis –proses meniru dan saling membutuhkan satu sama lain. Yang sering kali tidak disadari pelakunya. Pendukung Persebaya dan Arema sulit disatukan persis karena mereka saling mengandaikan dan membutuhkan.
Rivalitas itu bisa menghasilkan hubungan yang buruk dan bahkan memicu kekerasan. Namun, di sisi lain, rivalitas itu punya energi yang besar. Rivalitas itu mendorong daya cipta dan kreativitas. Karya seni, temuan ilmiah, dan inovasi teknologi banyak dilumasi rivalitas mimesis.
Dan benar, rivalitas mimesis Surabaya dan Malang telah memberikan banyak hal kepada kita.
Jika PSSI dan otoritas sepak bola terkait mengelola rivalitas itu dengan baik dan menyalurkan energi besar persaingan sengit tersebut ke dalam kompetisi yang nir kekerasan (misalnya dengan pemasaran yang pintar), kita bisa punya tontonan sepak bola Indonesia dalam versi terbaiknya. *Antropolog, penulis buku ”Tamasya Bola”