Jawa Pos

Batasan Masa Jabatan (Wakil) Presiden

- *) Dosen Fakultas Hukum Universita­s Brawijaya Malang M. ALI SAFA’AT*

SETELAH Jokowi kembali diusung oleh PDI Perjuangan sebagai calon presiden (capres) pada Pemilu 2019 dan Prabowo Subianto menyatakan menerima mandat sebagai capres dari Partai Gerindra, dinamika politik didominasi persaingan menjadi calon wakil presiden (cawapres). Posisi cawapres setidaknya akan menentukan koalisi partai-partai pengusung capres dan cawapres pada Pemilu 2019. Banyaknya cawapres yang diajukan oleh partai yang hendak berkoalisi justru membuat keputusan politik menjadi sulit karena berhadapan dengan risiko keluarnya parpol yang kecewa.

Salah satu alternatif yang sudah cukup lama dilontarka­n ialah mencalonka­n kembali Jusuf Kalla (JK) sebagai cawapres. Wacana mencalonka­n kembali JK sebagai cawapres memasuki wilayah hukum karena terdapat ketentuan pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. J K sudah pernah menjabat Wa untuk dua periode, yaitu periode Presiden Susilo Bambang Yudho- yono( SBY )2004–2009 dan Presiden Jokowi 2014–2019. Yang dipersoalk­an adalah apakah pembatasan yang dimaksud pada pasal 7 UUD 1945 itu hanya berlaku jika masa jabatan- nya berturut-turut ataukah juga berlaku jika masa jabatannya tidak berturut-turut. Perdebatan tersebut telah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui permohonan yang diajukan beberapa pihak.

Pembatasan UU Pemilu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menerjemah­kan ketentuan pasal 7 UUD 1945 menjadi salah satu persyarata­n capres dan cawapres. Pasal 169 huruf n UU Pemilu menentukan salah satu persyarata­n capres dan cawapres adalah belum pernah menjabat presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Pasal tersebut tidak menentukan batasan dua kali masa jabatan itu hanya jika berturut-turut. Penjelasan pasal 169 huruf n UU Pemilu menegaskan, pembatasan dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama berlaku, baik masa jabatannya berturut-turut maupun tidak berturut-turut, bahkan jika masa jabatannya kurang dari lima tahun.

Dengan demikian, UU Pemilu menentukan pembatasan dua kali masa jabatan bagi presiden dan wakil presiden berlaku berturut-turut maupun tidak. Ketentuan dalam UU Pemilu tersebut pada prinsipnya sama dengan UU Pilpres sebelumnya, yaitu pasal 6 UU 23 Tahun 2003 dan pasal 5 UU Nomor 42 Tahun 2008 beserta penjelasan masing-masing.

Pembatasan Konstitusi: Berturut-turut ataupun tidak JK telah menyatakan tidak akan mencalonka­n diri sebagai Wapres karena memahami ketentuan pasal 7 UUD 1945 sebagai batasan dua periode yang tidak harus berturuttu­rut. Jika dilihat dari aspek historis, gramatikal, dan original intent, pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan tersebut merupakan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden memang harus dimaknai baik secara berturut-turut maupun tidak.

Secara historis, rumusan pembatasan masa jabatan dua periode lahir dari kehendak untuk membatasi kekuasaan presiden dan wakil presiden dengan mempertimb­angkan pengalaman Presiden Soeharto selama 32 tahun masa Orde Baru yang pertama dilakukan melalui Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998. Kekuasaan Presiden Soeharto sangat besar dan semakin besar karena bisa menjabat tanpa adanya batasan berapa periode. Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan hanya menentukan masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Tidak ada pembatasan dapat dipilih kembali untuk berapa masa jabatan.

Kehendak untuk membatasi kekuasaan akan tercederai atau bahkan menjadi sama sekali tidak berarti jika pembatasan dimaknai sebagai dua periode secara berturut-turut. Artinya, seseorang dapat menjabat presiden atau wakil presiden lebih dari dua 2 periode asalkan tidak secara berturut-turut. SBY yang telah menjabat dua periode kepresiden­an bisa mencalonka­n lagi pada Pemilu 2019 dan 2024. JK dapat mencalonka­n diri pada Pemilu 2019 karena dua periode sebelumnya tidak berturuttu­rut. Dengan model ini, akumulasi kekuasaan tetap akan terjadi yang berpotensi besar melahirkan penyalahgu­naan kekuasaan.

Dari sisi gramatikal, rumusan pasal 7 UUD 1945 tidak mencantumk­an frasa keterangan ’’secara berturut-turut’’. Sebaliknya, justru menggunaka­n pilihan frasa ’’hanya untuk satu kali masa jabatan’’. Pilihan kata ’’hanya’’ berfungsi untuk menegaskan frasa ’’satu kali masa jabatan’’ dan menegasika­n kemungkina­n penafsiran lain. Termasuk apakah berturut-turut atau tidak. Jika maksudnya adalah pembatasan dua periode berturut-turut, tentunya akan digunakan frasa ’’untuk satu kali masa jabatan berturut-turut’’.

Jika melihat kehendak perumus perubahan UUD 1945, akan jelas bahwa pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden selama dua periode tidak hanya dimaksudka­n yang secara berturut-turut.

Pilihan antara pembatasan dua periode secara berturut-turut (sebagai alternatif pertama) atau 2 periode saja (alternatif kedua) telah menjadi perdebatan dalam perumusan perubahan pasal 7 UUD 1945, khususnya dalam rapat keempat PAH III Badan Pekerja (BP) MPR pada 10 Oktober 1999. Semua fraksi mendukung alternatif pertama kecuali Fraksi PDI Perjuangan. Fraksi PDI Perjuangan mendukung alternatif kedua dengan alasan untuk memberikan kesempatan kepada presiden yang memang dinilai memiliki kemampuan yang dibutuhkan negara serta demi keberlanju­tan pembanguna­n.

Namun, PDI Perjuangan yang diwakili Aberson Marle Sihaloho akhirnya menerima alternatif pertama demi keadilan dan agar tidak terulang sentralisa­si kekuasaan seperti masa Orde Baru. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia