Teringat Istri Menunggu di Garis Finis
Tommy Oei, Perjuangan 30 Tahun Mengejar Boston Marathon
Perjuangan Tommy Oei menggapai Boston Marathon begitu panjang. Butuh waktu 30 tahun untuk bisa tampil di World Marathon Majors yang paling diidamkan road runners di seluruh dunia itu.
USIA Tommy sudah 55 tahun. Tubuhnya sangat fit. Sabtu pagi (5/5) dia datang bersama istrinya, Nini Djie, ke ROCA Clubhouse, Surabaya. Mereka sangat kompak. Sama-sama mengenakan jersey biru tua bertulisan Boston Marathon.
’’Ke mana pun saya pergi, istri selalu ikut. Dia malaikat penolong saya. I’m nothing without her,’’ ungkap pria yang juga pengusaha di Surabaya tersebut.
Tahun ini, Boston Marathon berusia 122 tahun. Race yang mengantar pelari Jepang Yuki Kawauchi membungkam para pelari Kenya dan Ethiopia itu merupakan salah satu pencapaian terbesar dalam hidup Tommy. Impian mengikuti Boston Marathon terpatri sejak dia berusia 25 tahun. Tepatnya pada 1998.
’’Maraton bukan hanya masalah fisik. Ini tentang proses menjalani hidup. Semua harus bisa dituntaskan sampai akhir,’’ kata pria kelahiran Makassar, 31 Juli 1963, itu.
Boston Marathon memiliki kualifikasi yang ketat. Peserta harus mencapai limit waktu yang ditetapkan berdasar jenis kelamin dan usia. Selain itu, limit waktu tersebut harus dicapai dalam race tertentu yang diakui Boston Athletic Association (BAA).
Tommy memperoleh waktu kualifikasi pada Bali Marathon 2017. Dia memperoleh waktu 3 jam 24 menit 11 detik. Dalam kualifikasi usia 50–54 tahun, limit waktu laki-laki adalah 3 jam 30 menit. Di Indonesia, hanya ada dua race yang diakui BAA. Yaitu, Jakarta Marathon dan Bali Marathon.
’’Pada Bali Marathon, saya masuk urutan ke-34 dalam semua umur dan urutan keenam untuk kategori di atas 40 tahun,’’ tutur Tommy.
Setelah melalui seleksi berdasar peringkat waktu, Tommy memperoleh urutan ke13.301 dari 32.500 peserta.
Setelah resmi diterima sebagai peserta, Tommy mulai mempersiapkan diri. Secara total, dia menghabiskan empat bulan untuk persiapan. ’’Yang paling berat itu mengatasi rasa malas. Semakin dekat dengan hari H, semakin malas. Tapi, justru ini yang harus dilawan. Tantangannya adalah bisa menaklukkan diri sendiri,’’ ujarnya.
Tantangan demi tantang menghampiri Tommy selama perjalanan menuju Boston Marathon. Race dimulai pukul 10.25 waktu setempat. Tommy mempersiapkan diri sejak pukul 03.00 dari hotel. Selama perjalanan, dia harus menembus cuaca dingin dan hujan. Selain itu, berdiri selama berjam-jam untuk menunggu start hingga sepatu becek karena lumpur, bahkan sebelum lari dimulai.
’’Namun, dengan semua kesulitan itu, nggak ada peserta yang mengeluh. Jadi, kalau saya mengeluh, malah malu sendiri. Mungkin mereka tahu usaha untuk ke Boston saja sudah sulit. Kayaknya mereka udah
siap mati,’’ kata Tommy lantas tersenyum.
Saat race, tantangan yang dihadapi ayah tiga anak tersebut semakin berat. Berlari sejauh 42,195 km dengan cuaca ekstrem bukan perkara yang mudah. ’’Suhu Boston mencapai 2 derajat (sempat minus 1 derajat saat hujan di tengah race).
Dinginnya minta ampun. Saat lari, semua persendian kaku, gigi sudah gemertak. Apalagi, kalau ada angin, harus berhenti dulu untuk menahan dinginnya,’’ lanjut alumnus Teknik Industri ITB tersebut.
Tommy bercerita, dirinya hampir saja menyerah saat mencapai Km 25 karena tidak kuat menahan dingin. Namun, dia selalu ingat kepada istrinya yang menunggu di garis finis. Itu menjadi kekuatan Tommy untuk terus berlari menyelesaikan race yang menjadi mimpi terbesarnya itu. Akhirnya, Tommy berhasil finis dengan catatan waktu 4 jam 14 menit 22 detik.
Peran Nini memang krusial. Selama persiapan, perempuan asal Makassar itu setia mendampingi. Jika Tommy sedang berlari, Nini bahkan mengikuti dengan menggunakan sepeda sambil membawakan minum. Saat lomba, dia setia menunggu di garis finis. Dia juga sering mengajak suaminya melakukan yoga.
’’Istri saya ini merangkap sebagai pelatih, ahli gizi, sampai manajer. Kalau nggak ada istri di garis finis, mungkin saya nggak selesai Boston Marathon,’’ tutur pasangan yang menikah pada 1993 tersebut.