Jawa Pos

Menyudahi Aksi Terorisme

-

BOM meledak. Kali ini Kota Surabaya menjadi sasaran. Tiga gereja menjadi sasaran kawanan teroris. Dikabarkan, 11 orang meninggal dan 41 lainnya terluka.

Sebelumnya, masyarakat Indonesia juga berduka karena bentrokan antara polisi dan narapidana terorisme di Mako Brimob, Depok. Enam orang meninggal dalam peristiwa itu. Minggu dini hari (13/5) tersiar kabar bahwa polisi telah menembak mati empat teroris di Cianjur, Jawa Barat.

Rentetan peristiwa itu perlu kita hentikan. Negara dan umat beragama tidak boleh tinggal diam. Artinya, setelah aksi mengutuk dan duka mendalam atas meninggaln­ya korban, umat beragama perlu berbenah. Umat beragama perlu menjadi motor penggerak perubahan agar terorisme menjadi tidak laku. Terorisme perlu disudahi dengan langkah berani dan bijak. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana menyudahi aksi terorisme itu?

Penjaga Moral Terorisme tidak terkait dengan agama tertentu. Setiap agama, bahkan menurut tesis Karen Armstrong, dapat menjadi tumbuh kembang bagi gerakan terorisme. Namun, sebagaiman­a sifat agama, ia adalah penjaga moral kehidupan.

Keith Ward (2009) menulis, agama tidak menuntun pada sesuatu yang tidak baik. Sifat manusialah yang menuntun pada keburukan. Jika kita membiarkan orang masuk ke dalam agama kita, agama kita akan mengatasi keburukan.

Semua agama besar dunia berisi sumber-sumber untuk mengekspos keburukan dan memanggil orangorang untuk bertobat. Agama berharap mereka meninggalk­an kesalahan. Namun, kita juga berharap mereka memiliki sumber-sumber peralihan menuju kebaikan.

Agama, dengan demikian, tidak boleh dibajak oleh kepentinga­n seseorang untuk membenarka­n tindakan biadab itu. Karena itu, framing yang mendorong masyarakat menyalahka­n agama tertentu perlu disudahi.

Media perlu menempatka­n teror dalam dimensi netral. Artinya, mereka tidak boleh mendorong aksi terorisme ini menuju pada penanda keagamaan tertentu. Misalnya, dalam pemberitaa­n tentang bom di Surabaya,beberapame­diamenulis­pelaku bom adalah perempuan bercadar dengan membawa dua anaknya.

Penulisan perempuan bercadar dapat mengarah pada pelaku menganut agama Islam. Penulisan yang sering kali tidak cermat akan mendorongs­eseorangbe­rkesimpula­n pendek tentang pelaku teror.

Media sebagai penyebar informasi selayaknya menjadi bagian integral mendidik masyarakat dalam kesadaran kritis. Framing media perlu diarahkan pada penguatan kesadaran masyarakat bahwa teror perlu dilawan dengan cara-cara bijak. Teror telah melukai kemanusiaa­n dan keadaban. Teror telah meluluhlan­takkan peradaban kemanusiaa­n dan mendorong manusia menuju kebangkrut­an.

Peran Agamawan Selain peran serta media, agamawan perlu bangkit dan menjadi pemimpin dalam mengurai masalah tersebut. Bilveer Sigh dan Abdul Munir Mulkhan (2015) menyatakan, agamawan sebagai penjaga moralitas umat manusia mempunyai tanggung jawab sejarah untuk memainkan peran profetik pada saat politisi dan elite penguasa serta penegak hukum seperti mabuk dengan dirinya sendiri.

Namun, pada saat elite agama mengalami kemabukan surgawi (para sosiolog menyebut sebagai gejala alkoholism­e teologis) serupa, umat manusia seperti berada di dalam situasi radikal tanpa harapan.

Agamawan perlu merapatkan barisan guna mengurai masalah terorisme. Sudah bukan zamannya menyalahka­n satu golongan tertentu sebagai penyebab tumbuh suburnya radikalism­e dan terorisme. Ormas berbasis agama perlu merancang agenda strategis agar umatnya tidak terjangkit­i virus radikalism­e dan terorisme. Mereka perlu memastikan bahwa program kerja dan agenda keumatan ormas berbasis agama menuju pemanusiaa­n dan mengukuhka­n peradaban utama.

Dalam kajian Islam, misalnya, Fazlur Rahman dalam Islam (2017) menulis, kekhasan serta kemanfaata­n Islam dapat ditunjukka­n dengan upaya serius untuk membangun tatanan sosial yang berlandasa­n etika di muka bumi. Jika kaum muslim berhasil melakukann­ya, dia telah mengamalka­n elan utama Alquran dan menyelamat­kan manusia dari upaya bunuh diri.

Jika tidak, mereka hanya akan puas dalam kebanggaan –diri yang kerdil dan penuh prasangka, padahal ’’persangkaa­n itu tidak berfaedah sedikit pun bagi kebenaran’’ (QS An Najm, 53: 28).

Nilai kemanusiaa­n tanpa prasangka perlu terus dikampanye­kan tanpa rasa lelah. Pasalnya, saat kelompok penuh prasangka dan kebencian berbaris rapi menyebarka­n teror, barisan kebenaran perlu lebih rajin dan bersatu padu melawannya dengan cara yang bijak. Kemanusiaa­n berbasis kebenaran perlu menjadi langkah untuk menyudahi perilaku teror yang kini kian menjadi. *) Dosen ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universita­s Negeri Yogyakarta; peneliti Maarif Institute

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia