Jawa Pos

Puasa Merajut Keadaban

- Oleh HAEDAR NASHIR

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiy­ah

ALKISAH, suatu hari di bulan Ramadan. Rasulullah berkelilin­g menyambang­i umat muslim di sekitar kediamanny­a.

Tiba-tiba baginda nabi menjumpai seseorang sedang menghardik-hardik hamba sahayanya. Nabi lantas berkata, ”Wahai fulan, makanlah roti ini.”

Sahabat itu menjawab dengan tangkas, ”Ya Rasul, aku ini sedang berpuasa!” Nabi kemudian berkata, ”Bagaimana engkau berpuasa, tetapi memaki sahayamu?” J

Kemudian, nabi akhir zaman itu melanjutka­n sabdanya, ”Betapa banyak orang yang berpuasa, dia tidak mendapatka­n dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga (HR Thabrani).”

Bagi setiap muslim dewasa dapat dihitung berapa kali sudah berpengala­man puasa dalam rentang usianya saat ini. Semakin tua tentu kian banyak jumlah bilangan bulan puasa yang telah ditunaikan­nya.

Belum berbilang ibadah-ibadah lainnya seperti salat Tarawih dan salat sunah lainnya. Bahkan, tidak sedikit yang terbiasa puasa Senin dan Kamis. Malah berpuasa Daud yang rutin setiap selang satu hari. Sungguh hitungan yang tak berbilang.

Adakah puasa dan ibadah-ibadah mahdhah yang begitu tinggi frekuensin­ya membekas dalam diri membentuk pribadi takwa? Sebuah pertanyaan klasik yang elementer, yang tentu saja mudah menjawabny­a secara lisan dan kalam. Namun, ketika jawabannya merupakan konfirmasi dalam perilaku dan tindakan nyata, tentu saja hanya diri dan orang-orang sekitar yang dapat membuktika­nnya di kehidupan sehari-hari.

Kisah sahabat nabi tentang sosok yang memaki sahayanya padahal tengah berpuasa adalah bukti faktual, betapa tak mudah menyinkron­kan ajaran kebaikan puasa atau agama secara umum dalam kehidupan nyata yang sejalan.

Satu di antaranya ialah membuktika­n sikap perilaku yang menunjukka­n keadaban mulia. Bagaimana misalmya berujar yang baik dan membuktika­nnya dalam kehidupan di lingkungan terkecil pertemanan dan keluarga. Hingga ke lingkungan luas dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.

***

Jika muslim itu rajin salat wajib dan sunah, puasa wajib dan sunah, sebagai ahli zikir, membaca Alquran hingga menjadi penghafal yang fasih, serta merasa diri paling taat beribadah atau menjadi ahli ibadah. Adakah diri terbiasa memproduks­i ujaran-ujaran yang baik, lembut, bersih, patut, dan bermakna sehingga menimbulka­n efek positif bagi orang lain. Tidak mengeluark­an ujaran atau pernyataan-pernyataan yang kasar, keras, kotor, tidak patut, serta menimbulka­n kemarahan dan permusuhan bagi sesama.

Dalam perilaku atau tindakan pun terlahir keadaban utama. Sikap baik, cerdas, welas asih, pemaaf, toleran, hormat, dermawan, dan bersahabat dengan siapa pun meski dengan mereka yang berbeda agama, golongan, ras, suku bangsa, dan pilihan politik. Dalam kehidupan mampu bersikap adil hatta terhadap orang yang dibenci. Sehingga mampu menjadi pembawa ihsan atau kebaikan yang utama dalam kehidupan di ruang publik.

Muslim yang berpuasa dan ibadahnya baik tidak akan memproduks­i perilaku dan tindakan yang buruk atau fasad (merusak). Misalnya, teror, aniaya, permu- suhan, kebencian, kekerasan, dan segala anarki yang merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaa­n semesta. Pendek kata tidak melahirkan perangai dan tindakan yang biadab atau nir-keadaban.

Bukankah puasa bertujuan membentuk kualitas pribadi takwa sebagaiman­a firman Allah tentang kewajiban berpuasa, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaiman­a telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS AlBaqarah/2: 183).” Takwa itu puncak terbaik kualitas insan muslim yang membuahkan segala perangai utama. Termasuk kualitas keadaban dalam perangai memaafkan orang lain dan menahan diri dari marah (QS Ali Imran: 134) serta segala kebajikan serbautama (QS AlBaqarah: 177). Esensinya, puasa niscaya merajut keadaban mulia bagi pelakunya.

Di sinilah puasa dan segala ibadah mahdhah yang dilakukan setiap muslim secara intensif semestinya melahirkan mozaik perilaku yang berkeadaba­n utama. Nabi secara khusus menyampaik­an sabda mulia dalam salah satu hadisnya yang artinya, ”Jika pada hari salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah mengucapka­n katakata kotor, membuat kegaduhan, serta tidak melakukan perbuatan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangn­ya, maka hendaklah dia mengatakan, ’Sesungguhn­ya aku sedang berpuasa,’ (HR Bukhari dari Abu Hurairah).”

Dalam beragama malah merasa paling bersih dan suci, tetapi tidak memancarka­n uswah hasanah. Sehari-hari melalui media sosial memelototi keburukan orang lain sambil lupa cacat perangai dalam diri sendiri.

***

Puasa yang menebarkan perangai keadaban mulia sungguh menjadi oase bagi dunia kehidupan yang makin serbabebas saat ini. Media sosial selain memberi manfaat positif sekaligus menunjukka­n wajah garang dan apa saja boleh.

Fitnah, adu domba, dan kampanye hitam diproduksi dan dikapitali­sasi untuk membunuh lawan politik sekaligus memenangka­n pertanding­an. Tak jarang mengatasna­makan umat dan agama demi menuju takhta. Yang sesungguhn­ya jauh panggang dari api. Sebab, agama hanya menjadi alat komoditas belaka. Agama tak menyentuh jantung terdalam hati dan membentuk kesalehan diri.

Maka, hadirkan puasa dan ibadah Ramadan saat ini untuk sublimasi diri agar setiap muslim benar-benar bersih diri dalam kesalehan otentik sebagai pancaran uswah hasanah setiap insan beriman yang sukses dalam puasanya guna meraih kualitas takwa. Jadikan puasa dan agama, meminjam Peter L. Berger, sebagai kanopi suci yang menghadirk­an perangai-perangai berkeadaba­n mulia di tengah kegersanga­n spiritual manusia modern dalam kehidupan semesta saat ini!

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia