Ibu dan Peran Pencegahan Radikalisme
TULISAN A. Safril berjudul Teror Surabaya, Pola Lama Tren Baru (Jawa Pos, 15/5) terkait dengan rangkaian serangan bom bunuh diri di Surabaya telah mengulas arah baru tindak terorisme yang sekarang melibatkan seluruh anggota keluarga.
Pelibatan keluarga yang ditemukan dalam beberapa aksi teror sebelumnya masih terbatas pada saudara kandung, misalnya tiga bersaudara pelaku bom Bali (Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron), atau pada Jamaah Islamiyah yang dikendalikan Hambali dengan dibantu adik kandungnya, Gun Gun Gunawan. Namun, mereka dalam aksinya tidak melibatkan istri dan anak.
Peran terjun langsung dalam medan tempur (jihad besar) untuk kemudian mati sebagai syuhada (begitu klaim teroris) diambil laki-laki. Sedangkan perempuan berperan di jihad kecil yang mendukung jihad besar. Salah satunya dengan mempunyai anak sebanyak-banyaknya, terutama lakilaki, yang akan menjadi kader penerus jihad. Perempuan dalam hal ini memang bukan pemeran utama, tapi tetap memberikan pengaruh signifikan terhadap keberhasilan jihad.
Munculnya beberapa kasus perempuan dalam bom bunuh diri, lalu sekarang mengajak serta anakanak, menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan peran aktif perempuan dalam aktivitas terorisme serta penyebaran radikalisme. Terutama dalam lingkup keluarga terhadap anak-anak mereka.
Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam tumbuh kembang anak. Sebagai bagian dari sistem sosial, keluarga memiliki fungsi untuk melakukan sosialisasi nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan memfasilitasi proses belajar anak terhadap peran-peran sosialnya (Olson & DeFrain, 2003). Jika keluarga memegang teguh nilai-nilai yang bersumber dari kelompok tertentu, dapat dipastikan nilai-nilai tersebutlah yang sejak kecil akan dis osialisasikan dan mewarnai tumbuh kembang anak-anak mereka. Pun demikian ajaran radikal yang diyakini orang tua selaku sosok kunci dalam keluarga.
Peran orang tua dalam sosialisasi ini akan berbeda antara ayah dan ibu, mengingat perempuan memiliki kelebihan pada aspek sensitivitas emosional jika dibandingkan dengan lakilaki. Kelebihan perempuan membuat ibu umumnya lebih dekat dengan anak. Di samping karena pembagian peran dalam pandangan tradisional yang masih menekankan bahwa ibu bertanggung jawab terhadap urusan domestik. Termasuk di dalamnya pengasuhan anak-anaknya.
Dengan semakin aktifnya keterlibatan ibu sebagaimana tampak saat ini, penyebaran radikalisme pada anak memiliki jalur yang semakin kuat. Terlebih, ikatan antara ibu dan anak sudah terbentuk sejak anak masih berada dalam kandungan. Ibu sebagai pengasuh primer adalah sumber informasi pertama proses belajar anak. Hal itu telah dijelaskan Bowlby sejak 1969 dalam kajiannya tentang bagaimana perilaku pengasuh primer dapat memengaruhi pola pikir, respons emosi, maupun aspek sosial anak.
Tidak hanya dari apa yang disampaikan secara langsung kepada anak, segala sikap dan perilaku ibu seharihari adalah contoh yang akan diinternalisasi, menjadi rujukan sikap dan perilaku yang pada saatnya nanti turut dimunculkan anak. Sebab, anak adalah pembelajar aktif. Mereproduksi contoh perilaku yang mereka cermati sehari-hari dari orang-orang terdekat adalah salah satu mekanisme belajar yang dilakukan selama masa tumbuh kembangnya.
Ibu dengan demikian adalah sosok kunci bagi keberhasilan penyebaran radikalisme dan kaderisasi kelompok radikal sejak dini. Perannya tidak boleh lagi diabaikan. Mari kita bayangkan situasi dalam keluarga Dita Oepriarto, 47. Ketika, misalnya, ide melakukan aksi bunuh diri datang dari suami yang merupakan ketua Jamaah Anshorut Daulah (JAD) Surabaya itu, mungkin jalan ceritanya akan berbeda jika sang istri Puji Kuswati, 43, memiliki pendirian yang kuat untuk menolak atau keberatan dengan keinginan suaminya. Minimal akan ada empat anak yang terhindar dari keterlibatan dalam aksi terorisme. Pengandaian serupa berlaku pada keluarga pelaku serangan bom di Mapolrestabes Surabaya.
Dalam keluarga, ibu memiliki peran sebagai benteng bagi pertumbuhan bibit radikalisme anakanak muda. Ibu dipandang sebagai penjaga benteng. Pertanyaannya kemudian, bagaimana menguatkan ibu untuk mampu menjadi penjaga benteng yang tangguh dalam keluarganya? Sebab, akan begitu berat beban yang harus ditanggung apabila ibu diharapkan mampu berjuang sendiri. Bagaimanapun, ibu memerlukan dukungan sosial untuk bisa menjadi tangguh.
Setidaknya ada beberapa hal yang dapat diupayakan seluruh elemen masyarakat untuk membantu. Pertama, meningkatkan kepedulian keluarga besar untuk saling mengingatkan dan menguatkan. Pada beberapa kasus, jarak emosional dan problem komunikasi yang terjadi antara individu dan keluarga besar merupakan faktor risiko yang kerap memicu problem perilaku yang muncul kemudian. Sebaliknya, keterikatan yang baik dengan keluarga besar akan dapat menjadi faktor protektif yang menguatkan individu ketika harus mengambil sikap yang tepat terhadap segala pengaruh yang ada pada keluarga intinya.
Kedua, meningkatkan atmosfer positif dan kepedulian lingkungan terhadap sesama warga.
Ketiga, mengoptimalkan pendidikan di masyarakat melalui keterlibatan berbagai unsur, misalnya PKK, karang taruna, dan komunitas lain, untuk lebih aktif merangkul seluruh warga. Juga mengadakan berbagai kegiatan yang membantu meningkatkan kesadaran hidup bersama sekaligus memberikan informasi berkelanjutan yang dapat meningkatkan kewaspadaan. Dengan keterlibatan semua pihak, upaya menyelamatkan generasi dari pengaruh radikalisme bakal lebih efektif.
Koordinator Program Studi Doktor Psikologi Unair