Tekankan Rasa Aman dalam Keberagaman
Beri pelukan menenangkan. Jawab pertanyaan anak sesuai dengan tahap perkembangan usianya. Ekspresikan emosi secara tepat. Sebab, anak menyerap apa yang dia lihat dari ortu. Gusar, empati pada korban, tidak apa-apa. Termasuk bisa mengajarkan anak memiliki empati. Latih anak untuk menyaring berita yang dibaca atau didengar. Ajak anak melakukan aktivitas favoritnya untuk mengalihkan rasa takut atau bingungnya. Mengabaikan pertanyaan anak. Anak dikhawatirkan mencari jawaban dari sumber yang belum tentu tepat. Mengekspresikan kebencian pada golongan tertentu hanya berdasar atribut atau pakaiannya. Memberi tahu anak penjelasan yang spekulatif belum tentu benar. Menonton tayangan tentang tragedi bom terus-terusan yang membuat anak ketakutan.
RANGKAIAN teror di berbagai kota di Indonesia memang menimbulkan ketakutan. Termasuk pada anak-anak. Si kecil diliputi kekhawatiran dan ketakutan hingga muncul banyak pertanyaan yang sulit dijawab orang tua. Salah satunya pertanyaan tentang terorisme.
Menurut Jony Eko Yulianto SPsi MA, orang tua perlu memberikan penjelasan yang mudah dimengerti dalam bahasa yang sederhana. ”Saat menjelaskan, penekanan tentang rasa aman lebih penting daripada penjelasan detail teror atau teroris,” tegasnya. Sebab, anakanak, khususnya di bawah usia 9 tahun, belum memiliki manajemen emosi yang stabil. Mereka belum bisa mengelola rasa takut. Jadi, kalau penjelasan tidak diimbangi penekanan rasa aman, anak akan mengalami ketakutan parah.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ciputra itu menjelaskan, orang tua perlu menjadi contoh buat anak. Terlebih ketika teror tersebut terjadi di dekat si kecil atau memakan korban orang yang dikenal anak. ”Ketika ketegangan sudah mereda, berkunjung ke keluarga korban bersama anak jadi langkah yang baik. Buat anak, pengalaman tersebut menumbuhkan empati dan sensitivitasnya untuk peduli kepada orang lain,” ucap Jony.
Dia menyatakan, orang tua perlu menjaga mood si kecil. ”Lakukan aktivitas yang menghibur. Misalnya, liburan atau melakukan kegiatan keterampilan,” paparnya. Berita-berita tentang terorisme sebaiknya dihindari. Alumnus program magister Universitas Gadjah Mada Jogjakarta itu menyatakan, guru dan orang tua perlu menekankan pada pesan keberagaman untuk menghindari prasangka. Negative thinking muncul karena merasa kelompok sosial kita lebih baik, sementara yang lainnya lebih buruk. Untuk menghindarinya, kita perlu memiliki hubungan baik dengan kelompok sosial lain. Caranya, membiasakan anak-anak berteman dengan sebayanya yang berbeda agama.
Selain itu, orang tua dan guru bisa memberi referensi tokoh agama lain yang menjunjung tinggi kebaikan. Dengan demikian, akan tertanam pikiran bahwa setiap agama punya nilai-nilai kebaikan.
Bagi anak yang memasuki usia remaja, Ajeng Raviando Psi menyampaikan, peer group atau lingkungan pertemanan berperan mengidentifikasi perilaku yang tidak tepat. Misalnya, ketika ada teman yang tiba-tiba memiliki pandangan ekstrem dan tidak bisa menerima keberagaman, teman yang tiba-tiba murung, menarik diri, atau bahkan menghilang.
Atau, waspada saat sebayanya menulis pesan dengan makna tertentu. Salah seorang anak yang diajak orang tuanya mengebom beberapa hari sebelumnya dikabarkan menulis status 463. Lost... melalui media sosial. Bila menemukan kejanggalan seperti itu, teman bisa mencoba bertanya apa maksud tulisannya. ”Kejadian ini menjadi reminder kuat untuk kembali mawas diri. Semua pihak. Anak, orang tua, guru, pihak sekolah, interaksi dalam pertemanan, atau lingkungan bertetangga,” ungkap psikolog dari Teman Hati Konseling tersebut.