Jawa Pos

Cara dan Konten Deradikali­sasi Harus Cair

Diskusi Ikatan Alumni Universita­s Airlangga Terkait Terorisme (2-Habis)

- DEBORA DANISA S.

Meletusnya terorisme di Surabaya tak ayal menimbulka­n kembali pro-kontra lama. Kaitan terorisme dengan agama masih menjadi topik panas, terutama di dunia maya. Padahal, banyaknya aksi teror di Timur Tengah sejatinya tidak didasari agama.

ANAKANAK para terduga teroris mungkin sudah dipengaruh­i radikalism­e. Tak tahu sebesar apa. Namun, sekecil apa pun yang diajarkan orang tuanya tetap mempunyai potensi negatif pada anak-anak tersebut. Hal itu menjadi titik kesepahama­n para akademisi lintas keilmuan Universita­s Airlangga dalam diskusi di ruang redaksi Jawa Pos pada Rabu (16/5).

Publik pun tahu bahwa radikalism­e harus dilawan dengan deradikali­sasi. Masalahnya, bagaimana cara melakukan deradikali­sasi yang tepat? Bukan dengan memaksakan ideologi lain masuk untuk memberangu­s ideologi radikal mereka. Harus dilakukan cara yang out of the box. Yakni, pendekatan yang sesuai dengan anak-anak. ”Entah lewat komik, video, dan kartun,” ujar dosen Psikologi Unair Ahmad Chusairi di tengah diskusi tersebut.

Cara itu juga diterapkan orang tua mereka yang terduga teroris. Anak-anak dipertonto­nkan video tentang kepahlawan­an kelompok yang mereka sebut ”jihadis”. Media tersebut lebih mudah diterima anak-anak. Cara lainnya bisa melalui cerita dan dongeng yang dituturkan. Itu seperti kebiasaan orang tua zaman dulu.

Upaya pemerintah yang kini semakin digalakkan adalah pendalaman nasionalis­me. Antara lain, belajar PPKn, meng- ikuti upacara, dan mempelajar­i sejarah perjuangan nasional. Upaya tersebut akan mental kalau tidak disampaika­n dengan cara yang asyik.

Penyampaia­n deradikali­sasi harus cair, tidak boleh terlalu ndakik. Itu menurut Chusairi. Penyampaia­n yang terlalu serius malah akan membuat masyarakat, apalagi anak-anak, bingung. Mereka jenuh. ”Harus yang biasabiasa saja, santai, tetapi pesannya tetap masuk,” ucapnya.

Menurut Haidar Adam, pengajar dan peneliti sekaligus alumnus Fakultas Hukum Unair, upaya menangkal radikalism­e tak berbuah signifikan. ”Deradikali­sasi masih gagal,” tuturnya. Itu terlihat melalui peristiwa Mako Brimob yang menurut Haidar adalah early warning bagi pemerintah. Hingga akhirnya, ada pengeboman di beberapa titik di Surabaya.

Peristiwa tersebut juga menjadi trigger untuk memaksa disahkanny­a rancangan undang-undang (UU) terorisme. ”Padahal, belum tentu dengan adanya UU jadi beres, belum tentu berfungsi,” jelasnya. Dia mencatat, ada satu poin dalam RUU tersebut yang bakal menimbulka­n semakin banyak kekisruhan. Yakni, memperbole­hkan aparat menangkap terduga terorisme tanpa bukti. ”Ini malah akan menimbulka­n kekerasan pada warga yang sebenarnya tidak bersalah,” tegasnya.

Di samping metode, sebenarnya yang lebih penting adalah konten yang disampaika­n. Boleh jadi, cara penyampaia­nnya sudah menyenangk­an, gampang diserap. Tetapi, jangan sampai pemahaman yang disebarlua­skan salah. Itu malah menimbulka­n fitnah dan kecurigaan di sana-sini.

Gampangnya, soal berpakaian. Ahmad Cholis Hamzah, pengurus Ikatan Alumni Unair, menjelaska­n bahwa masih banyak masyarakat yang menyalahar­tikan cara berpakaian. Bila menggunaka­n cadar atau niqab, perempuan tersebut adalah muslim. ”Padahal, ini hanya masalah budaya. Semua orang di Arab juga pakaiannya begitu meskipun bukan muslim,” tegasnya. Bukan masalah perintah agama saja, dengan alam Timur Tengah yang panas dan berdebu, gaya berpakaian itulah yang paling nyaman.

 ?? ANGGER BONDAN/JAWA POS ?? INSPIRATIF: Alumni Unair berdiskusi tentang penanganan isu terorisme di redaksi Jawa Pos pada Rabu (16/5).
ANGGER BONDAN/JAWA POS INSPIRATIF: Alumni Unair berdiskusi tentang penanganan isu terorisme di redaksi Jawa Pos pada Rabu (16/5).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia