Kepala Sekolah Teringat Momen Diberi Bunga
Mengetahui Kehidupan Keluarga Terduga Teroris
Para teroris yang tega melakukan aksi mereka membuat banyak orang bertanya-tanya. Keseharian mereka pun dipertanyakan.
KELUARGA teroris selalu digambarkan antisosial. Mereka biasanya jarang merumpun ke tetangga. Namun, tidak demikian dengan keluarga Tri Murtiono, pelaku bom bunuh diri Mapolrestabes Surabaya pada Senin (14/5).
Tidak pernah sedikit pun ada rasa curiga bahwa mereka tergabung dalam jaringan teroris. Hal itu diungkapkan Ketua RT 009, Krukah Selatan, Kukuh Santoso. Di wilayah itulah Tri dan keluarganya bertempat tinggal.
Menurut Kukuh, keluarga Tri mudah bersosialisasi. Begitu pula tiga anak mereka. Termasuk si bungsu Ais yang selamat. Dia dikenal sebagai pribadi periang. Dia mengisi hari-harinya dengan bermain bersama teman sebaya. ’’Biasa-biasa saja. Kayak anak pada umumnya,’’ ucap Kukuh.
Kabarnya, Ais mengikuti homeschooling. Kukuh membantah. Dia tahu sendiri, tiga anak Tri bersekolah. Mereka adalah M. Daffa Amin Murdana (tewas) yang bersekolah di SMA Negeri 16, M. Satria Murdana (tewas) di SMP Negeri 30 Surabaya, dan Ais di MI Muhammadiyah 5 Pucang.
’’Ais itu terkenal pandai bela diri. Sampai mau ke luar negeri buat lomba,’’ ungkap Kukuh
Kabar Daffa sebagai korban yang diajak ayahnya melakukan bom bunuh diri sudah diterima Kepala SMAN 16 Surabaya Roosdiantini sejak Senin malam (14/5). Dia mendapat laporan dari wali kelas. Daffa merupakan siswa kelas XII IPA yang baru lulus pada 2 Mei lalu. ’’Saya tidak menduga dan shock,’’ katanya.
Daffa dikenal sebagai anak santun. Menurut Roosdiantini, Daffa adalah sosok humoris dan pandai bergaul. ’’Saya masih ingat, saat orientasi sekolah, Daffa bikin atraksi sulap. Dia kasih bunga ke saya. Anaknya baik dan santun,’’ ujarnya.
Roosdiantini menuturkan, Daffa terakhir ke sekolah saat wisuda pada 5 Mei lalu. Perilakunya normal. Dia juga diketahui tak pernah membolos. ’’Saya juga tanya ke guru agama, di kelas Daffa mengikuti dengan baik. Tidak ada pertanyaan yang mengarah ke radikalisme. Anaknya menerima pelajaran dengan baik,’’ tuturnya.
Lain ceritanya dengan keluarga Dedy Suliastiantono alias Teguh, pelaku teror yang ditembak Densus 88 Antiteror di Jalan Sikatan pada Selasa (15/5). Dia memang sengaja tidak menyekolahkan tiga anaknya, DNS, 13; AISP, 9; dan HA, 7. Bersama istri, Suyanti, 35, Teguh memilih mengajari anak-anaknya sendiri. Bukan homeschooling karena ada kecenderungan rasa tidak percaya kepada lembaga pendidikan. Anak-anak itu hanya ikut pendidikan Alquran di salah satu TPQ di sekitar rumah.
Menurut seorang tetangga, Endang Trisnawati, anak-anak itu pernah bersekolah formal, tetapi tidak lama. Namun, si bungsu kemudian diikutkan les. Guru les HA, Siti Muniro, menjelaskan, HA mulai belajar di tempatnya dua bulan lalu. Sempat berhenti, dia kemudian kembali setelah diantar ibunya.
Saking tertutupnya, Teguh tidak pernah mengikuti acara yang digelar di RT. Menurut Endang, Teguh juga tidak mau menerima pemberian berkat (makanan dari hajatan). ’’Biasanya kalau dikasih nanti dibuang makanannya,’’ katanya.
Saat perayaan 17 Agustus, Teguh juga tidak mau memasang bendera Merah Putih di depan rumahnya.