Polemik Identitas Ganda Dedy
Dispendukcapil Pastikan Tidak Ada Dobel KTP
SURABAYA – Terduga teroris yang ditembak mati di Manukan Kulon punya identitas ganda. Hal itu diketahui setelah penyergapan oleh Densus 88 pada Selasa malam (15/5). Petugas menemukan KTP atas nama Dedy Sulistiantono. Bukan Teguh sebagaimana dikenal warga Manukan Indah.
Sejak 1980, warga Manukan Indah, Kelurahan Manukan Kulon, Tandes, mengenalnya dengan nama Teguh. Dia merupakan anak ketiga di antara lima bersaudara. Dia memiliki kakak bernama Anton Ferdiantono yang tewas di Rusunawa Wonocolo, Taman, Sidoarjo, pada Minggu (13/5). ’’Di KK yang dulu namanya Teguh,’’ terang Ketua RW 3 Manukan Kulon Bani Pranoto.
Bani tidak mengetahui bahwa Teguh berganti nama menjadi Dedy. Sebab, enam bulan lalu Teguh pindah ke Jalan Sikatan 4. Namun, dia tetap rutin menitipkan uang arisan PKK kepada tetangga di RW 3.
Dari informasi yang dikumpulkan, Teguh memang sudah lama tinggal di Manukan Indah. Dia dibesarkan bersama lima saudaranya yang lain. Setelah kematian sang ayah pada 2006, Teguh alias Dedy dan saudaranya hidup terpencar dan berpindah-pindah. Saat pindah ke Jalan Sikatan, tidak ada yang tahu bahwa Teguh sudah mengganti namanya menjadi Dedy.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya Muchammad Machmud mempertanyakan masalah itu dalam rapat hearing kemarin (18/5). Namun, pertanyaan tersebut tidak direspons pemkot karena dianggap terlalu melebar. Saat itu komisi C membahas laporan pertanggungjawaban (LKPj) wali kota Surabaya tahun
anggaran 2017. ”Ya sudah, nanti dijawab di luar forum ini,” kata politikus yang juga tinggal di Manukan itu.
Machmud meminta dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dispendukcapil) memperketat pengawasan bagi penduduk yang berpindah-pindah. Selain itu, seluruh data kependudukan ganda harus dikroscek. Menurut dia, masalah tersebut bisa dijadikan cara bagi para pelaku teroris untuk berkamuflase.
Kepala Dispendukcapil Surabaya Suharto Wardoyo memastikan, tidak ada identitas ganda. Di dalam sistem kependudukan, nama yang diakui negara adalah Dedy, bukan Teguh. ”Saya pastikan dia hanya punya satu KTP. Tidak ada data ganda,” ujar Anang, panggilan akrab Suharto Wardoyo, kemarin.
Dia menambahkan, pengawasan orang asing saat ini lebih susah. Dulu pengawasan bisa dilakukan melalui kartu identitas penduduk musiman (kipem). Kartu itu lantas diganti dengan surat keterangan tinggal sementara (SKTS). Namun, sejak 2016 SKTS tidak lagi diberlakukan. ”Itu kebijakan Kementerian Dalam Negeri. Seluruh warga bisa tinggal di mana pun setelah diberlakukan sistem e-KTP,” ujar alumnus Unair tersebut.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat (BPB Linmas) Eddy Kristijanto menambahkan, saat ini ada 15 ribu warga pendatang yang sudah terdata. Yang belum terdata masih banyak. Namun, menurut dia, pengawasan kependudukan masih belum cukup untuk menanggulangi terorisme. ”Perlu kerja sama yang kuat dengan RT/RW,” ujar mantan kepala bagian pemerintahan itu.
Dia menambahkan, ketua RT/ RW tersebut harus cekatan menampung laporan. Warga diharapkan segera melapor jika ada tetangga yang menutup diri, tidak membiarkan orang lain masuk ke rumahnya, atau sering mengadakan pertemuan tapi tidak mengundang warga sekitar.