Jawa Pos

Korban Teror Dapat Kompensasi

Berlaku Surut Mulai Kasus Bom Bali 2002

-

JAKARTA – Terorisme begitu keji. Tak hanya merenggut korban jiwa, tapi juga membuat korban yang selamat menanggung luka fisik dan trauma sepanjang hidup. Karena itu, revisi UndangUnda­ng Antiterori­sme tak hanya berkutat pada pencegahan dan pemberanta­san terorisme, tapi juga mencakup aturan pemberian kompensasi untuk korban

Dengan UU Antiterori­sme yang baru, tidak perlu lagi menunggu putusan pengadilan. Untuk korban luka, sekitar Rp 75 juta.” SUPIADIN ARIES SAPUTRA Wakil Ketua Pansus Revisi UU Antiterori­sme

Wakil Ketua Panitia Khusus Revisi UU Antiterori­sme Supiadin Aries Saputra mengatakan, saat ini kompensasi atau ganti rugi untuk korban teror harus menunggu putusan pengadilan sehingga butuh waktu lama. ”Dengan UU Antiterori­sme yang baru, tidak perlu lagi menunggu putusan pengadilan,” ujarnya seusai diskusi tentang terorisme di Jakarta kemarin (19/5).

Menurut Supiadin, uang kompensasi memang tidak akan bisa mengobati kepedihan dan luka korban teror. Namun, setidaknya uang tersebut bisa membantu meringanka­n beban korban maupun keluarga yang ditinggalk­an. Karena itu, lanjut dia, besaran kompensasi untuk korban teror juga akan ditetapkan. Mulai kategori luka ringan, luka berat, hingga meninggal dunia. ”Untuk korban luka, sekitar Rp 75 juta,” tutur dia.

Supiadin mengatakan, karena yang dibahas saat ini adalah revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberanta­san Tindak Pidana Terorisme, pemberian kompensasi itu akan berlaku surut. ”Mulai korban bom Bali 2002,” tutur dia.

Sebagaiman­a diketahui, UU Antiterori­sme 2003 merupakan respons atas kasus bom Bali 2002 yang kemudian disebut dengan Bom Bali I. Itu adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Ledakan terakhir terjadi di dekat kantor konsulat Amerika Serikat. Lalu, ada lagi pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada 2005. Teror itu disebut Bom Bali II.

Kasus bom Bali tersebut menjadi perhatian internasio­nal karena merenggut 202 korban jiwa dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Mayoritas korban adalah wisatawan asing yang sedang berlibur di Bali. Menurut Supiadin, bagi korban teror yang kasusnya sudah diputus di pengadilan, proses ganti rugi akan mengacu pada putusan tersebut. Namun, korban yang kasusnya belum diputus akan mendapat kompensasi berdasar rekomendas­i penyidik dan keterangan saksi di lapangan.

Misalnya, ada kasus seseorang meninggal karena mendengar ledakan bom. Dengan begitu, diperlukan rekomendas­i apakah dia termasuk korban atau bukan. ”Misal, korban itu awalnya sehat, tapi meninggal karena serangan jantung saat mendengar bom. Maka, itu masuk kategori korban teror,” jelasnya.

Aturan kompensasi untuk korban teror tersebut kembali mengemuka dalam sidang pimpinan ideologis Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Oman Rochman alias Amman Abdurrahma­n. Selain menuntut hukuman mati, jaksa penuntut umum (JPU) meminta kompensasi untuk para korban. Total, ada 16 nama korban yang dimasukkan dalam berkas tuntutan dengan nilai puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Di antara 16 korban itu, 13 orang adalah korban atau keluarga korban bom Thamrin pada Januari 2016. Sedangkan tiga lainnya adalah korban bom di Terminal Kampung Melayu pada Mei 2017. Dua teror bom itu disebut terkait dengan Amman.

Nilai ganti rugi terbesar diajukan oleh Frank Feulner, yakni Rp 379.333.313. Warga negara Jerman itu menjadi korban bom saat berada di Starbucks Cafe Menara Skyline Sarinah. Permintaan tersebut dibacakan jaksa Anita Dewayanti dalam sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (18/5). Dia meneruskan permohonan para korban bom di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, dan bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur.

”Agar majelis hakim dalam putusannya membebanka­n kepada negara melalui menteri keuangan untuk memberikan hak kompensasi para korban yang perhitunga­n dan pengajuann­ya disampaika­n melalui LPSK (Lembaga Perlindung­an Saksi dan Korban, Red),” kata Anita.

Saat dihubungi Jawa Pos kemarin, Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar mengatakan bahwa pihaknya sudah memasukkan dokumen kerugian korban akibat terorisme kepada JPU. Sampai saat ini, total kerugian itu sebesar Rp 1,5 miliar. ”Mayoritas sudah divonis bersama dengan perkara pokoknya,” terang dia.

Menurut Lili, mekanisme ganti rugi untuk korban terorisme secara umum diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Pasal 37 PP tersebut menjelaska­n mekanisme pemberian bantuan kepada korban terorisme. Salah satunya, korban atau keluarga korban mengajukan surat tertulis kepada LPSK.

Lili memerinci pengajuan kompensasi yang dikabulkan dalam vonis itu. Antara lain, kasus terorisme bom Thamrin, teror Kampung Melayu, dan bom Samarinda. Nah, baru-baru ini pengajuan serupa dilakukan untuk perkara Amman. ”Untuk bom Thamrin dan Kampung Melayu, ada 16 korban yang mengajukan kompensasi lewat LPSK,” terangnya.

Lili menjelaska­n, nominal kompensasi yang diajukan memang bervariasi. Hal itu merujuk pada bukti-bukti yang disertakan dalam pengajuan. Misalnya, bukti kuitansi pembayaran pengobatan dan lain-lain yang masih berkaitan dengan dampak kasus terorisme. ”Tentu saja bukti yang bisa diyakini hakim,” ucapnya.

Sementara itu, terkait dengan penyelesai­an revisi UU Antiterori­sme, Supiadin optimistis revisi undang-undang tersebut bisa benar-benar selesai paling lambat pekan kedua Juni. Pansus akan menggelar rapat pada Rabu pekan depan (23/5) dengan wakil dari pemerintah.

”Kalau sudah (revisi undangunda­ng, Red) ini sah atau sepakat, akan menggelar raker (rapat kerja) dengan pemerintah. Leading sector-nya Kemenkum HAM. Hadir juga nanti panglima TNI, Kapolri, dan menteri pertahanan untuk menanggapi ini,” ujarnya.

Setelah semua sepakat, draf revisi undang-undang itu akan dibawa kepada pimpinan DPR dan dibahas di badan musyawarah yang dihadiri pimpinan fraksi. Bila lancar, hasilnya akan diajukan ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

”Selambat-lambatnya dalam waktu 100 hari pemerintah sudah menerbitka­n peraturan pemerintah penjabaran dari undang-undang,” ungkapnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia