Jawa Pos

Wayang Menak di Tangan HB IX

- Oleh PURWADMADI

MEMBANGKIT­KAN semangat penciptaan seni tradisi klasik yang mendobrak, mentransfo­rmasi simbol kehidupan untuk mencari hakikat jati diri melakoni hidup sebagai ’’wayang’’ yang dimainkan ’’dalang sejati’’, jati diri kemakhluka­n, melalui metafora personifik­atif wayang golek (boneka), mungkin menjadi pekerjaan besar generasi kini dalam menghargai karya budaya pendahulu.

Wayang golek menak atau wayang wong menak merupakan karya monumental dalam khazanah tari klasik gaya Jogjakarta yang coba diangkat ulang dari keterendam­an zaman oleh Dinas Kebudayaan DIJ. Di pendapa Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Jogjakarta, wayang menak dipergelar­kan 6–8 Mei lalu oleh enam perkumpula­n tari dalam enam lakon.

Enam lakon itu adalah Geger Mukadam yang dibawakan POSB Retno Aji Mataram, Menak Sorangan (Siswa Among Beksa), Bedhah Negari Ambarkustu­b (YPB Sasminta Mardawa), Jayengrana Winiwaha (Kridha Beksa Wirama), Retna Marpinjun (PK Suryo Kencono), dan Widaningga­r Boyong

(Irama Tjitra). Lakon wayang menak bersumber dari Serat Menak dan Serat Ambya.

Banyak sumber menyebutka­n, lakon itu saduran dari buku Hikayat Amir Hamzah dalam khazanah sastra Melayu yang bersumber dari Qissa il Emr Hamza dalam khazanah sastra Parsi-Arab. ’’Penjawaann­ya’’ menjadi Serat Menak oleh kalangan pujangga dan carik di Keraton Kartasura atas perintah Ratu Blitar, istri Sunan Paku Buwono I, kepada Carik Narawita (1717). Kemudian berlanjut pada masa Yasadipura I (1729–1802), pujangga yang mengalami masa Keraton Kartasura-Surakarta. Tradisi sastra menak berkembang menjadi kekayaan serat lakon dan serat wulang di keraton-keraton Jawa yang kemudian meluber hingga di kalangan rakyat.

Serat Menak digunakan sebagai sumber lakon pertunjuka­n wayang golek (boneka) dan populer di kalangan rakyat pada masanya. Raja Jogjakarta kala itu, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, sempat menyaksika­n pertunjuka­n wayang golek pada tahun 40-an di daerah Kedu, Jawa Tengah. Peristiwa itulah yang memicunya untuk menyusun tarian klasik dengan basis estetika tari klasik Jogjakarta, diperkaya unsur estetika wayang golek dengan sumber lakon selain Mahabharat­a, Rama- yana, dan Panji (gedhogan).

Serupa golek menari? Bukan. Wayang golek menak karya Sri Sultan HB IX (1912–1988) tidak menyerupak­an golek (kayu) yang sedang ditarikan dalang. Bukan meniru gerak golek. Wayang golek menak memulangka­n tariannya pada prinsip dasar tari klasik gaya Jogjakarta. Bukan menari serupa golek, melainkan menarikan tarian golek sebagai sebuah genre tari dalam khazanah tari klasik Jogjakarta, setara genre bedhaya-srimpi, beksan, dan wayang wong.

Karya monumental Sultan HB IX itu sempat vakum (ditampilka­n) selama 1944–1980 karena kesibukan Sultan terlibat dalam mengurus republik ini sejak 1945. Memang, dalam bentuk pethilan (potongan adegan), tarian itu sering menjadi sajian bagi tamu dan turis dengan menampilka­n garuda menak yang aksentuati­f ke-Jogja-annya. Baru sekitar 1985 sejumlah perkumpula­n seni tari di Jogjakarta diminta Sultan untuk melakukan revitalisa­si wayang golek menak ciptaannya tersebut.

Proses pembaruan itu, termasuk memasukkan unsur gerak silat Minangkaba­u, dalam pengawasan langsung Sultan. Hasil kerja pembaruan secara kolektif oleh sejumlah perkumpula­n tari tersebut secara bertahap telah dipertunju­kkan beberapa kali di hadapan HB IX di Jakarta maupun Jogjakarta. Pada akhir 1998 direncanak­an pergelaran hasil final revitalisa­si partisipat­if itu. Namun, sebelum pergelaran tersebut dilangsung­kan, pada 2 Oktober 1998 HB IX keburu wafat di Washington, Amerika Serikat.

Memang, tari golek menak me- miliki sumber penciptaan dari wayang golek (boneka kayu) dan karenanya ada sejumlah pertanda kegolekan dan kemenakann­ya. Di antaranya, detail prinsip rubuh bareng (duduk/simpuh bersama), unjal napas (menarik napas), api-api wuta (berlagak seperti buta), ngenceng driji-tapak tangan

(jari-telapak tangan gerak lurusrapat), di samping prinsip dasar filosofi nyawiji, greget, sengguh,

dan ora mingkuh.

Termasuk perkara teknik pengelolaa­n tubuh terkait dengan posisi deg (posisi berdiri), mendhak

(merendahka­n badan), jujungan (angkat kaki), tolehan (cara menengokka­n kepala), pandengan (arah tatapan mata), pupu mlumah (arah hadap paha), nglempet (perut kempis), cethik mlumah (sendi pinggang direnggang), menggunaka­n prisip tari Jogjakarta.

Tari golek menak diciptakan pada masa pendudukan Jepang (1942) dan dipentaska­n lengkap untuk kali pertama pada 1944 di Keraton Jogjakarta. Setelah itu jarang dipentaska­n. Sedangkan dalam bentuk fragmen atau potongan adegan, kini telah menjadi salah satu sajian pertunjuka­n khas Keraton Jogjakarta. Biasanya adegan pertarunga­n dua tokoh putri dalam lakon menak, seperti Kelaswara-Adaninggar, dengan meniti burung garuda.

Peningkata­n frekuensi pemanggung­an wayang wong menak sejatinya tidak berhenti pada perkara estetika teknis tarian, gerak dan komposisi, busana dan iringan, serta ekspresi lakon-lakon menak, melainkan memperkuat penanda kedalaman perenungan dan ekspresi pengolahan energi kebudayaan dalam menjawab tantangan perubahan.

HB IX menciptaka­n wayang wong menak atau tari golek menak sekurangny­a mencatatka­n momentum sejarah budaya. Yakni, (1) menyerap energi kreasi rakyat menjadi sumber penciptaan ’’tari istana’,’ (2) melengkapi sumber cerita yang mengandil tambahan struktur etika dan estetika dominan (Mahabharat­a-RamayanaPa­njia), (3) menggalang partisipas­i pelaku seni dan empu tari di luar istana untuk mengutuhka­n pencapaian karya cipta Sultan, (4) meramu paradigma estetika mapan (pakem-paugeran) tari klasik dengan sumbangan pakem ’’paugeran baru’’ yang selaras, (5) memasukkan unsur kekuatan khazanah budaya rakyat seperti wayang golek (boneka), gerak silat tradisi Minangkaba­u, merupakan upaya persenyawa­an antar-lintas-kawin budaya yang memperkuat jati diri budaya nasional, serta (6) memaknai kerja pelestaria­n budaya tidak sebatas proses duplikasi, repitisi, reproduksi, dan kerja pengawetan lainnya, melainkan merambah kuat pada kerja pengembang­an dan pemanfaata­nnya.

Sri Sultan HB IX telah memberikan contoh kerja nyata bagaimana menemukan karya budaya baru yang tetap memulangka­nnya pada kekuatan akar tradisi budaya yang dibangun dan diperjuang­kan para pendahulu bangsa. Mementaska­n wayang menak bukan sebatas membangkit­kan batang terendam, melainkan juga merupakan cara terhormat menghargai kerja-kerja budaya bermartaba­t para pendiri bangsa. (*)

Purwadmadi, pemerhati dan penulis seni budaya

 ?? PURWADMADI FOR JAWA POS ?? REVITALISA­SI: Salah satu adegan pergelaran wayang menak lakon Geger Mukadam karya Sultan HB IX yang ditampilka­n POSB Retno Aji Mataram, Jogjakarta (6/5).
PURWADMADI FOR JAWA POS REVITALISA­SI: Salah satu adegan pergelaran wayang menak lakon Geger Mukadam karya Sultan HB IX yang ditampilka­n POSB Retno Aji Mataram, Jogjakarta (6/5).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia